Selasa, 05 November 2013

Bobol Lagi... Bobol Lagi....

     Jika kita cermati ada banyak kegiatan perbankan yang rentan terhadap tindak kejahatan, mulai dari perizinan, rahasia bank, pengawasan dan pembinaan bank serta yang berkaitan dengan usaha bank itu sendiri. Tindak pidana perbankan yang paling eksterim adalah perampokan bank dan pengalihan rekening secara tidak sah.

      Kejahatan perbankan kerap melibatkan orang dalam. Ini bisa terjadi lantaran lemahnya sistem pengawasan dan administrasi sebuah bank. Kasus di bank syariah mandiri bogor menjadi bukti. Apalagi kasus yang termasuk sensasional yaitu : kasus BLBI, Bank Century, Bank Mega, hingga Bank Bali yang sampai saat ini belum jelas keputusan penyelesaiannya. Hal ini menjadi preseden buruk bagi upaya pencegahan kejahatan perbankan di tanah air. Kampanye anti fraud yang dilakukan perbankan menjadi isapan jempol belaka karena hukuman bagi pelakunya tidak cepat diputuskan dan membawa efek jera.



     Ada 3 hal mendasar yang menyebabkan kaus pembobolan bank di Indonesia kian hari kian bertambah. Pertama rusaknya fungsi hukum sebagai rambu-rambu kejahatan. Selama ini tidak ada hukuman yang berat bagi pembobol bank, sehingga kemudian beredar pameo dikalangan pembobol bank, “kalau membobol bank jangan tanggung2 yang besar sekalian bermiliar-milar, setelah itu paling   pelaku cuma mengeluarkan semilyar rupiah untuk aparat penegak hukum maka semuanya akan beres”. Pelaku pembobolan Bank BNI, Bank BRI, Bank Mandiri semakin memperkuat pameo tersebut.

        Kedua, lemahnya sistem pengawasan Bank Indonesia (BI), di BI sendiri sering terjadi kekurangan SDM sehingga mereka mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasarn terhadap kantor2 cabang bank didaerah, meskipun didaerah itu terdapat kantor perwakilan BI. Seharusnya perbankan bisa menggunakan forum bankir di daerah yaitu Badan Musyawarah Perbankan Daerah (BMPD) atau Himpunan Bank Bank Milik Negara (Himbara), untuk memperbaiki kontrol internal bank. Ketiga lemahnya koordinasi kantor pusat BI dan perwakilan. Selama ini fungsi monitoring BI hanya mengandalkan laporan bank semata, tidak mempunyai sistem intelegen untuk mencegah penyelewengan di perbankan. Akses BI ke informasi bank sangat terbatas sehingga jika terjadi pembobolan bank, aksi yang dilakukan BI sudah terlambat.

      Fenomena pembobolan bank di tanah air, jika dibiarkan terus berlanjut tanpa tindakan konkret preventif untuk menanganinya, sangat memalukan dan  membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi perbankan. Untuk mencegah agar pembobolan bank tidak terulang ada 3 hal yang harus dilakukan oleh BI atau Pemerintah yaitu:   Pertama perkuat penegakan hukum, cara ini memang klise karena menjadi instrumen klasik yang mudah diucapkan namun sulit diwujudkan. Salah satu caranya adalah membersihkan aparat penegak hukum, baik jaksa, polisi, maupun hakim. Jika ketiga penegak hukum itu masih kotor maka penegakan hukum akan sulit dilakukan. MoU yang sudah dijalin BI dengan aparat penegak hukum tersebut sebaiknya dievaluasi lagi. Minta agar para petinggi lembaga-lembaga itu proaktif, membantu penegak hukum membersihkan lembaga mereka dari aparat rakus bermental maling.

            Kedua perbaiki kelemahan BI yaitu pengawasan dan koordinasi, karena dua celah itulah yang selama ini dijadikan jalan bagi mereka yang berniat membobol bank. Walaupun nantinya pengawasan bank akan dilakukan oleh Organisasi Jasa Keuangan (OJK), namun pembobolan bank yang terjadi saat ini adalah pada masa transisi atau peralihan pengawasan dari BI ke OJK. Jadi BI masih sangat berkepentingan demi kepercayaan masyarakat terhadp bank.

             Ketiga perlu penguatan pemberdayaan internal auditor, sebagai early warning system agar kejahatan sistemik dalam dunia perbankan tidak terjadi lagi. Karena upaya pembenahan manejemen pengawasan internal inilah yang paling ampuh untuk menghindari dan mencegah kejahatan perbankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar