Kamis, 12 Desember 2013

Belajar Bernyanyi

Burung… kakaktua, hinggap di jendela.. Nenek sudah tua, giginya tinggal dua… 

Tentu syair lagu anak-anak seperti  di atas pernah hinggap dalam memori  masa kecil kita. Pasti ingatan masa kecil, ia akan lekat dan menjadi ingatan abadi kita. Lagu-lagu tersebut kuhapal dan bisa menyanyikannya waktu kelas satu SD, tentu diajari sama guru-guruku yang cantik,  yang tangannya bagus sehingga kalau tepuk tangan suaranya lantang, plok … plok …plok… gitu. Aku sangat mengagumi cara beliau bertepuk tangan, nyaring bunyinya mengiringi kami bernyanyi. Tapi itu hanya kenangan dijaman aku kecil dulu…


Sekarang, lagu-lagu tersebut sering sekali mampir ke telingaku, hampir setiap hari, bisa jadi sehari dua kali, setiap pagi jam 8 atau sore sekitar jam 5. Lagu-lagu anak-anak tersebut di medley bersambung dengan lagu naik kereta api, tut..tut..tut… siapa hendak turut ke Bandung – Surabaya…

Hal ini bisa terjadi karena keponakanku, yang menginjak usia 2 tahun 7 bulan sangat menyukai lagu-lagu tersebut. Bahkan dia sudah hapal syair-syairnya. Dengan kefasihan lidahnya yang masih jauh dari sempurna, dia sering menyanyikannya yang akhirnya mengundang tawa bersama.  Dia belajar lagu-lagu tersebut bukan dari guru TK, karena dia memang belum sekolah. Play Group pun belum. Dia belajar nyanyinya lewat Mang Odong-odong yang selalu setia menjemputnya untuk keliling beberapa blok di sekitar rumah. Sepanjang perjalanannya, kaset lagu-lagu anak-anak diputarkan. Dan Neng Geulis pun asyik menikmati sambil goyang-goyang kepala, terangguk-angguk seirama dengan lagunya.

Tiap menjelang jam tayang Neng Geulis sudah harus rapi, kemudian menunggu kedatangan odong-odong tersebut. Aku sembari menyuapinya, duduk di depan sembari say hello pada tetangga yang lalu lalang. Tapi mereka juga sudah pada paham, sapaannya juga tak jauh dari kalimat,”Nunggu odong-odong ya, dik?” … Hehehe… aktifitas rutin sih … Kalaupun aku tidak sempat, pasti  mimin yang asisten rumahtanggaku mengasuhnya sambil menemaninya.

Terus terang, aku sangat berterimakasih pada Mang Odong-odong tersebut, Ibu-ibu penitip anak- biasa memanggilnya demikian, nama aslinya sampai kami tak mengetahuinya. Orangnya sangat sabar, sayang pada anak. Dan rasanya aku pribadi kok enjoy banget dengan aktifitas Neng Geulis yang tak pernah absen naik odong-odong langganannya.

Pertama, Mang Odong-odong terbukti sayang anak, kalau ada yang rewel selalu sanggup menenangkannya. Bahkan pernah aku melihatnya tak canggung membopong anak yang telah belepotan BAB di celananya. Mungkin saking asyiknya bernyayi, sampe tak terasa BAB di bebek-bebekan yang dinaikinya.


Kedua, aku mengetahui rumah dan keluarga dari Mang Odong-odong, sehingga hati juga tidak was-was perihal kemana anakku dibawa pergi. Mang Odong-odong dulunya penjual es cendol , yang kemudian beralih profesi sebagai ‘guru TK’. Rupanya mengelola odong-odong lebih menjanjikan daripada mendorong gerobak cendol.

Ketiga, Neng Geulis akhirnya juga mengenal banyak teman, setidaknya dengan teman-teman sebaya yang sudah menjadi pelanggan tetap odong-odong tersebut.
Keempat, Biarlah neng Geulis belajar nyanyi dari sana karena kalaupun sekolah TK kelak, belum tentu dia akan diajari lagu-lagu tersebut.

Sebenarnya aku-lah yang harusnya menjadi guru nyanyi bagi keponakanku. Tapi, terus terang kok aku kurang telaten ya. Kurang bijak juga kalau menjadikan waktu sebagi alasan, karena toh aku bukan wanita karier yang waktunya banyak di luar rumah. Sebagian besar waktuku meski sembari mengerjakan banyak hal, habis di rumah. Di bawah usia TK, keponakanku selalu dekat denganku. Tapi ya itu tadi, … aku kok kurang telaten mengajarinya menyanyi.

Jadi bagiku, peran Mang Odong-odong sangat membantu dalam mengajari anak bernyanyi dan bersosialisasi. Tak banyak pula biaya yang harus kukeluarkan. Ongkos untuk Neng Geulis tidak pernah dilebih atau kurangkan, Cuma Rp. 2000,- dari pertama naik sampai anak habis tinggal Neng Geulis seorang yang kemudian diantar ke depan rumah. Di kasih lebih selalu tidak mau. Makanya, secara pribadi aku sering memberinya bingkisan semacam kaos, baju untuk anak atau cucunya atau bahkan sekedar kue-kue. Yah, … hitung-hitung nitip anak sih…(Saw-Bandung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar