Senin, 30 Desember 2013

Jika Saya Jadi Anggota DPRD Banten

Jika saya menjadi Anggota DPRD Banten, maka garis politik saya hanya satu: ikut apa kehendak Keluarga Ratu…

Karena mereka lah yang sesungguhnya menentukan hitam putih Banten hari ini. Keluarga itu mengisi seluruh pojok kekuasaan di tatar Sunda bagian barat ini. Jangankan di eksekutif, di mana Ibu Tiri, Menantu, Adik, dan Ipar Atut bercokol. Bahkan jabatan-jabatan organisasi sosial pun tak lepas dari cengkraman mereka (seperti KNPI Banten, Tagana Banten, dan entah apalagi).


Jika saja di Banten ada perhimpunan Hansip atau RT, maka pasti Ketuanya adalah dari keluarga keturunan Almarhum Chasan Shohib itu. Sekedar mengingatkan, menurut temuan ICW, milyaran rupiah uang rakyat Banten mengalir ke organsiasi-organsiasi itu (dengan judul Dana Hibah atau Dana Bantuan Sosial).

Tiga tonggak cabang kekuasaan politik tak ada yang lepas dari cakar kekuasaan mereka. Selain Eksekutif, juga berkecambah di legislatif (atau DPRD). Di situ pun jalur kekerabatan Ratu Atut bertautan. Bahkan Ketua DPRD Banten sekalipun, tak lain adalah orang yang pernah menjadi tukang menenteng-nenteng tas Almarhum Chasan Shohib (orang tua Atut).

Akan terlalu kasar jika saya mengatakan Ketua DPRD Banten adalah bekas suruhan Chasan Shohib —meski faktanya memang begitu. Dari puluhan Anggota DPRD Banten yang kini duduk, belasan diantaranya adalah inner circle Ratu Atut, alias lingkaran inti Sang Tersangka KPK itu. Dan mereka tak datang dari satu partai, melainkan hampir semua partai besar…
Lalu bagaimana dengan suara rakyat?

Ah, menipu rakyat Banten semudah meniup kapas di ujung jemari. Mereka cukup disogok dengan dua bungkus Indomie di malam Pilkada. Selesai. Jangan mimpi rakyat Banten yang jumlahnya jutaan itu bisa kritis. Dari dulu, para pemberontak Banten hanya terdiri dari segilintir, dan perlawanan mereka pasti segera pupus. Jangankan rakyat jelata, mereka yang kuliah S2 sekalipun, ada yang menjadi pengunjung rutin makam keramat, para jurnalisnya juga dengan bangga pamer foto salaman dengan pejabat, dan aktivis mudanya yang di KNPI menjadi pendukung setia keluarga Sang Ratu. Intinya: Sang Ratu selalu digugu.

Lagipula, rakyat Banten mudah ditakut-takuti bahkan dengan dongeng kosong sekalipun. Cukup membayari para Jawara yang sangar, maka mereka pasti bungkam. Tinggal menyebar isu santen, maka mental rakyat pasti mengkeret. Rakyat Banten sudah lama percaya, bahwa keluarga Ratu Atut tak bisa dikalahkan. Sudahlah, jangan harap rakyat Banten akan membela pihak yang benar. Mereka hanya tahu dibayar!

Memang ada kelompok kritis dan militan. Tapi jumlahnhya bisa dihitung dengan jari. Saya memang salut dengan kawan-kawan ICW dan jaringannya di Banten, yang giat membongkar korupsi Dana Hibah dan Uang Bantuan Sosial di Banten. Saya juga memberi apresiasi kepada para akademisi. Mereka itu hebat! Seperti titisan para cendekiawan Banten tempo doeloe yang pro pada kebenaran. Akan tetapi, jika Saya Menjadi Anggota DPRD Banten, tak akan mendengarkan seruan mereka, karena mereka jumlahnya terlalu sedikit, dan mereka tak akan memberi proyek apapun terhadap saya.

Maka tak ada yang salah, jika Saya Menjadi Anggota DPRD Banten, maka kiblat politik saya adalah keluarga besar Sang Penguasa…

Dengan gurita kekuasaan keluarga Ratu Atut yang menjalar ke sana ke mari, maka apa yang tak bisa mereka lakukan? Puluhan Anggota DPRD Banten tak lain hanya menjadi the rubber stamp belaka, alias pemberi cap stempel persetujuan. Tak bisa ada pendapat yang tak setuju. Semua takluk.

Dari sisi kemerdekaan politik, anggota DPRD Banten bahkan jauh lebih buruk nasibnya dibanding Volksraad zaman kumpeni dahulu. Waktu itu, meski disetir pemerintah kolonial, tapi para anggota Volksraad masih bisa kritis, berani mengirim Petisi, dan berani mundur bila pendapatnya tak dihargai (misalnya, Agus Salim, yang menyebut parlemen Hindia Belanda itu sebagai Komedi Omong belaka).

Tetapi jangan salah, dari sisi kemewahan hidup, Anggota DPRD Banten adalah raja diraja. Apa merk mobil mewah yang tak dimiliki para anggota dewan di sana? Prinsip menjadi anggota dewan di Banten adalah tak apa pendapat tak dihargai, yang penting pendapatan selalu diberi. Isi kepala mereka adalah proyek apa yang bisa dilahap.

Bagaimana tidak, tiga fungsi utama Anggota DPRD, masing-masing fungsi anggaran, fungsi legislasi, dan fungsi pengawasan, bisa diolah menjadi uang semua.

Dalam menyusun budget, maka poin-poin mata anggaran dan pagu nominal, telah dipesan lebih dahulu. Bukan sembarang pesanan, karena hal itu adalah barang yang pasti jadi. Tak boleh dikoreksi. Semua orang Banten tahu, APBD Banten memang ditandatangani Pimpinan DPRD, tetapi atas persetujuan orang yang kini mendekam di balik jeruji KPK —dan pemilik belasan mobil super mewah. Anggota DPRD Banten faham betul teori ini. Maka, daripada berpikir keras meloloskan program yang pro rakyat miskin, jauh lebih baik mengakomodasi permintaan proyek dari keluarga. Pasti ada uang lelah.

Lalu bagaimana dengan dua fungsi lain yang tersisa? Yakni soal pengawasan dan pembuatan peraturan daerah (fungsi legislasi)?

Fungsi pengawasan dewan, anggap saja itu “mata pelajaran Pengantar Ilmu Politik” untuk mahasiswa Untirta semester pertama. Tak ada gunanya sama sekali. Apa yang harus diawasi? Di Banten, mana ada program atau proyek yang dilakukan dengan memenuhi standar. Semua berkualitas buruk. Karena nilai proyek sudah digunting sebelum pekerjaan dilaksanakan. Jangankan Anggota DPRD Banten, tukang pangkas rambut di Pasar Benhil Jakarta pun tahu, bahwa ada 1.300 kasus korupsi di Banten. Untuk tahu kebobrokan berbagai kualitas program Pemda Banten tak perlu pengawasan lapangan oleh legislatif, cukup anda bisa baca tulis saja. Semua itu terlihat di depan mata.

Kata seorang pakar, ada dua cara merampok APBD Banten. Cara pertama, adalah melakukan mark up atau penggelembungan nilai anggaran (untuk kemudian masuk ke kas penguasa). Cara kedua, memotong uang proyek dengan cara menurunkan kualitas pengerjaan proyek. Dan ini dilakukan oleh para cukong yang berebut menjadi kontraktor.

Pun begitu dengan soal legislasi. Sama buruknya. Di Banten, pernah terjadi polemik sesaat, persis ketika satu setengah tahun lalu Radar Banten memuat berita protes dari Ketua Komisi Kebebasan Informasi Publik Provinsi Banten, tentang Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) Provinsi Banten. Yang jadi kontroversi adalah karena Ranperda itu 100 persencopypaste dari Ranperda milik Provinsi Sulawesi Selatan. Benar bukan, jika Saya Menjadi Anggota DPRD Banten, untuk apa bekarja benar, karena semuanya bobrok.

Anda mungkin bertanya-tanya, sejahat itukah DPRD Banten? Jawaban sudah tegas hari-hari terakhir ini. Coba baca di media massa: DPRD Banten sepakat memutuskan Ratu Atut sebagai Gubernur Banten (meski yang bersangkutan kini menjadi “primadona” Rutan Pondok Bambu). Luar biasa DPRD Banten, lebih memilih dipimpin tahanan KPK. Itu saja…(Endi Biaro)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar