Sabtu, 01 Maret 2014

"Jaton - Jawa Tondano"

Pagi yang cerah, aku mendarat di Bandara Sam Ratulangi Manado. Kendaraan kantor yang menjemput sudah menunggu di areal parkir bandara. Everson atau Son panggilan akrabnya, driver kantor menemuiku dengan ramah. “So lama bapak nyanda kamari, apa kabar ?”. Aku menjawab baik-baik saja. Karena hari masih jam 10 pagi, kutelepon pejabat yang berwenang untuk meminta ijin menggunakan kendaraan dinas, menuju Danau Tondano. Aku berharap dapat ijin karena tugas yang kujalankan di KPw Manado  memantau arsip BI terkait OJK. Dari pengalaman sebelumnya, waktu yang diberi kurang, selalu bekerja sampai malam. Hingga nggak sempat jalan-jalan menikmati kota yang kukunjungi.


Alhamdulilah, diijinkan. Aku langsung mengajak  Son menuju Danau Tondano di Kabupaten Minahasa, kira-kira 38 km jauhnya. So lama nyanda tugas ke “Provinsi Nyiur Melambai” khususnya kota “Tinituan”. Kondisinya sudah banyak berubah, bandaranya bersih dan tertib, kendaraan ramai agak macet, banyak mall. Sepanjang jalan menuju Tondano terlihat pohon kelapa, pohon pala, pohon cengkeh dan hutan buah-buahan yang tumbuh subur menghijau.


Sebelum sampai ke Tondano, kami singgah ditempat seorang pedagang “saguer” di daerah Tanggari. Yaitu minuman yang diambil dari pohon seho atau pohon aren, kalau dijawa atau ditempat lain “tuak”namanya. Rasanya manis segar.  Saguer bahan dasar untuk membuat gula aren dan minuman yang cukup digemari masyarakat Sulawesi Utara, yaitu “Cap Tikus”.


Setelah sampai di Danau Tondano, kami langsung menuju sebuah tempat untuk makan siang, tempatnya sederhana namun cukup bersih, terlihat dari toiletnya yang terawat. Berbagai menu tersedia, khususnya menu ikan mujaer. Mujaer bakar rica, mujaer bakar siram dabu-dabu, mujaer goreng mentega, mujaer woku, mujaer kuah asam, perkedel nike (sejenis ikan teri Danau Tondano), kangkung cah bunga pepaya, pakis cah bunga pepaya. 


Menu dan kuliner yang sangat menarik, sebab kalau di Jakarta menu tersebut hanya dapat kutemui di Restoran “Tude”, yaitu restoran masakan minahasa yang ada di Jalan Blora, samping stasiun kereta api Dukuh Atas.


Perjalanan yang menyenangkan, selain berwisata sehabis santap siang, karena sudah berada di daerah Tondano, aku sempatkan ziarah ke makam pahlawan nasional “Kyai Modjo” di Kampung Jawa - Tondano. Beliau adalah salah seorang kepercayaan Pangeran Diponegoro.


Kyai Modjo yang terlahir dengan nama Muhammad Khalifah, pada akhir tahun 1829 menjelang Perang Diponegoro berakhir, beliau diasingkan oleh Belanda ke daerah ini beserta 63 orang pengikutnya. Setelah beliau wafat tahun 1849, termasuk seluruh pengikutnya dimakamkan disebuah bukit kecil didaerah Tondano. Karena pengasingan tersebut maka sampai saat ini penduduk daerah setempat disebut “Jaton” atau Jawa Tondano. Peninggalan jaman Kyai Modjo, yaitu Masjid Al Falah Kyai Modjo, yang dibangun bersamaan dengan pembuangannya. Bahasa yang dipergunakan kaum jaton adalah bahasa jawa dan campuran jawa tondano.



Pengalaman wisata yang sangat berkesan, selain melihat kondisi alam yang indah, pengalaman rohani mengunjungi makam seorang pahlawan nasional membuatku terharu. Biasanya tahu beliau hanya dari pelajaran sejarah, alhamdulilah kemarin bisa mengirim doa dari makamnya. Semoga beliau dan para pengikutnya dilapangkan dan diterangkan kuburnya, dijauhi dari siksa api neraka, diterima amal ibadahnya oleh Allah SWT. Yang membuatku bangga adalah nggak semua orang yang berkunjung ke Sulawesi Utara, bisa singgah di Danau Tondano dan Kampung Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar