Kamis, 26 September 2013

Ayam Goreng

          Setelah berkeliling di sekitar tempat wisata Gunung Takuban Perahu, aku mampir di Kota Lembang. Lembang dikenal dengan hasil buminya berupa aneka sayuran dan buah-buahan segar. Lembang dikenal dengan hasil susu sapi segarnya, karena memang di sinilah tempatnya peternakan sapi. Lembang dikenal dengan cuacanya yang sejuk dingin. Lembang juga dikenal dengan makanannya yang enak-enak. Jika kita ke Lembang, salah satu rumah makan yang cukup mencolok adalah rumah makan atau resto ”Ayam Goreng Brebes”. Dulu rumah makan ini menyediakan makanan “sagala aya”, mulai ayam goreng bakar, sate gule kambing, ikan goreng bakar, sop dan soto, sayur asem, karedok, sampai gado-gado. Sedia juga aneka minuman, jus, susu murni sagala rasa, dan lain-lain.
          Tapi sekarang nggak, hanya mengkhususkan pada ayam goreng brebes-nya. Sempat pada awalnya aku ragu dengan restoran ini, tapi setelah aku masuk dan melihat suasananya, wah boleh juga nih tampak rapi dan bersih. Kalau dulu tak sebesar sekarang, saat ini banyak meja makannya cukup untuk sekitar 120 orang padahal dulu cuma 20 orang, dan itu-pun sudah dempet dempetan duduknya. Bufet tempat menyimpan/menggantung ayamnya-pun ada dua buah yang berarti langganan resto telah tambah banyak dan resto telah berkembang bukan hanya sekedar resto tempat singgah.
          Ayam goreng brebes, selain enak dan gurih, memang memiliki kenangan sendiri bagiku.  Waktu bujangan hampir setiap aku mengunjungi  Bandung, mampir ke lembang dan makan ayam goreng di dinginnya udara Lembang.  Jarak Bandung - Lembang seringkali kutempuh dengan sepeda motor, karena ketagihan ayam Brebes ini dingin pun tak kurasakan waktu itu. Kalau diingat-ingat, ada nostalgia juga ketika lidah ini mengecap gurihnya potongan ayam sore itu.  

          Ayam goreng ini biasanya digoreng kering dengan merendamnya di dalam sebuah wajan yang penuh dengan minyak goreng panas.  Biasanya gorengnya agak lama, sehingga kulit ayam kering, sementara dagingnya di dalam matang tapi lembut. Ayam ini bisa juga dibakar dan disajikan dengan baluran kecap sambal yang generous.  Mungkin ini selera, tapi buatku tetap lebih enak digoreng. Apalagi disajikan dengan ikan asin jambal roti, dan karedok yang sedap!  Ah, nggak mau pulang rasanya.
          Nah, penjualnya menjajakan sekaligus menarik perhatian calon pembeli dengan menggantung ayam-ayam utuh setengah matang di dalam sebuah kotak kaca di depan toko. Cara menggantung barang dagangan dengan cara seperti ini, rupanya merupakan sesuatu yang lazim di Indonesia.  Beberapa waktu yang lalu, ketika aku berkunjung ke Surabaya, cara yang sama juga dipergunakan oleh penjual bandeng asap.  Bandeng yang baru selesai di asap dan digantung-gantung di dalam sebuah kotak kaca di depan toko. Selidik punya selidik, ternyata mereka menggantung seperti ini karena ingin membiarkan minyak dari bandeng agar tuntas keluar untuk ditampung dalam wadah yang berada di bawahnya. Ini konsisten dengan cara banyak penjual makanan oriental ketika menggantung daging bebek atau babi yang diwarnai merah.  Makanan-makanan tersebut digantung agar pewarna dan bumbu yang dioleskan ke permukaan tersebut dapat tumpah dan mengalir ke wadah yang disediakan di bawahnya. 

          Metode ini rupanya ditempuh untuk mendapatkan hasil kulit makanan yang kering dan gurih ketika makanan tersebut digoreng atau dipanggang.  Hasil yang berbeda akan diperoleh ketika makanan tersebut diletakkan di dalam sebuah wadah dan direndam dengan bumbu. Metodologi ini rupanya juga dapat digunakan untuk menelaah ayam dan bandeng gantung ini.  Ditengah derasnya pertumbuhan gerai makanan cepat saji dengan pemasaran yang agresif, masyarakat masih juga menyajikan makanan dengan cara yang sudah berabad-abad dilakukan oleh manusia.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar