Jumat, 06 September 2013

Sumber Daya Syariah


Memiliki Sumber Daya Insani (SDI) yang handal adalah tantangan di setiap organisasi yang berbasis syariah. Karena begitu besar harapan dan tuntutan maka lembaga pendidikan pencetak sumber daya syariah mendisain program pengembangan SDI tidak digarap secara instan. Hasilnya SDI memahami financial structure yang syariah serta dapat berperan sebagai Sumber Daya Insani yang berkualitas dan berkompeten, serta harus siap menampilkan info info terkini produk produk syariah berdasarkan akad syariah yang digunakan.

Dalam suatu pelatihan syariah harus diciptakan upaya untuk mengolah perdebatan, menggarap dilema kerja tim, tidak hanya mencerna doktrin apa adanya. Menikmati refleksi diri dan secara serius mendalami berbagai proses keuangan syariah dan turunannya, semua ini tidak hanya angin lewat saja. Akan menjadi mubazir besar, bila sebuah pelatihan yang dijalani tidak diikuti dengan sungguh-sungguh. Bagaimana mungkin individu bisa jadi SDI handal dan ideal tanpa upaya untuk betul-betul menggarap aspek-aspek pengembangan diri. Tantangan terbesar SDI bukan ujian terhadap pengetahuan atau knowledge-nya saja, namun justru datang dari kehebatannya dalam mengelola aspek duniawi dan ahklakul qarimah.


Evaluasi Diri Sendiri
Banyak  sumber daya yang dalam melayani cepat  meradang, tidak bisa menahan emosi padahal pakaian yang dikenakan hampir semua pegawai lembaga syariah sudah mengisyaratkan bahwa dia harus sabar. Hal ini bisa dipahami karena bila berada pada situasi terjepit ataupun krisis seperti yang dihadapi, SDI membutuhkan ketahanan  dan ketekunan yang luar biasa. Hanya orang orang yang optimis yang mampu menghadapi turbulensi ekonomi dan sosial di masa sekarang ini. Di lain pihak, penyeimbangan antara optimisme dan realitas ini memang bukan hal yang mudah. Tidak selamanya seorang pegawai bawahan berani  membuka kekurangan dan realitas  buruk kepada rekannya karena tidak ingin teman kerja melihatnya pesimis dan turun semangat.

Seharusnya SDI diciptakan sudah teruji dari situasi yang menempatkannya pada posisi konvensional dan syariah, terjepit antara manajemen dan rekan sekerja, terdesak antara kesempatan dan keterbatasan. Inilah sebabnya banyak ditemui pegawai syariah yang plin-plan, tidak bisa memberi gambaran yang gamblang atau memberikan arahan yang jelas mengenai keuangan syariah pada konsumen, bahkan seolah terkesan tidak mengerti sama sekali. Pertanyaannya, dalam menghadapi situasi transisi konvensional ke syariah ini, pada siapa seorang SDI bersandar? Pada siapa SDI belajar? Pada siapa ia bertumpu? Tentu saja, ia harus kembali pada dirinya sendiri. Jelas, bila dalam diri seorang SDI tidak terjadi pengolahan batin yang berakar pada Ilahiyah, segala pengetahuan ekonomi syariahnya, keahlian bahkan penampilan yang dimilikinya, pada suatu saat bisa jadi sumber daya usang yang tidak dipercaya oleh masyarakat.

Kembangkan Moralitas
Energi, disiplin diri, ‘willpower’ serta kekuatan pengertian akan jual beli manfaat perlu ditempa, dilatih dan ditingkatkan. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya bila seseorang SDI tiba-tiba diposisikan pada bidang pekerjaan lainnya yang tidak dilakukan secara rutin setiap hari, dituntut untuk mempraktekkan pengambilan keputusan dan pemberian arah yang jelas, sementara ia tidak memiliki dan tidak mengasah kualitas pengetahuannya dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu hanya dengan ketahanan mental dan pengetahuan keuangan syariah yang mumpuni serta tawaqaltu, dia akan bisa tumbuh.

Pelatihan yang diadakan dalam rangka mencetak SDI sangat fokus menekan moral, yang berakibat membawa individu kepada “moral courage” untuk menghadapi tantangan ekonomi yang diciptakan manusia. Hanya dengan keberanian menerapkan suatu sistem yang masih awam, seorang SDI bisa bergerak dari otoritas formalnya, menuju yang lebih informal seperti membangun collective intelligence, lalu memobilisasi masyarakat untuk memecahkan kebuntuan ekonomi global. Fleksibilitas dan kesejajaran ini hanya bisa diterapkan oleh SDI yang sudah ‘lulus’ berlatih moral dan mengerti kezoliman ekonomi, yaitu dengan memperbanyak transaksi mudharobah dan musyarokah (bermitra).

Perlu Menjaga Kualitas
Materi pelatihan dalam rangka mencetak SDI,  sebaiknya lebih banyak dorongan pada individu untuk mengembangkan ibtikar (innovation) ke dalam dirinya. Bila seorang SDI bisa melihat ke dalam dirinya, barulah ia bisa merefleksinya pengetahuan Ilahiyahnya ke orang lain melalui akad. SDI yang tidak memulai dari diri sendiri untuk mengembangkan segala ikhtiar akan tampil sebagai SDI yang tidak peka, yes man saja, sehingga karakteristik pembiayaan yang menjadi dasar pengembangan syariah menjadi stagnan. “Everything base on logic not everything base on the market”, yang berarti bahwa usaha syariah melalui pemberdayaannya selain bermakna syariah juga beradab dan beretika dalam hakiki berbisnis.

Sebagai SDI, individu selalu memikirkan strategi bagaimana mengendalikan pikiran pribadi dan keinginan untuk memajukan orang lain. Salah satu caranya adalah dengan secara sadar mengembangkan “inner dialogue” yang jujur dan terbuka dengan dirinya. Misalnya saja, bertanya pada diri sendiri: “Apakah kualitas saya sudah memadai? Apakah usaha syariah ini akan menjadi jembatan sirotol mustaqim? Apakah keuangan syariah dapat men-deliver masyarakat kecil kedalam segmen sejahtera?”. Hanya dengan keterbukaan dan kejujuran pada diri sendiri, seorang SDI mampu mengembangkan ‘passion’ umat manusia, tanpa kehilangan sisi manusiawinya. Hanya dengan kepekaan yang kuatlah, semua pengetahuan seorang SDI diterapkan untuk menjauhi freud dan akan lebih “make sense”. Semakin beradab punggawa punggawa syariah maka kualitas pelayanannya semakin variatif sehingga value proposition perbankan syariah “lebih dari sekedar bank” mudah dikenali dan dirasakan masyarakat.(ER & SS)  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar