Memiliki Sumber Daya Insani (SDI) yang handal adalah
tantangan di setiap organisasi yang berbasis syariah. Karena begitu besar
harapan dan tuntutan maka lembaga pendidikan pencetak sumber daya syariah mendisain
program pengembangan SDI tidak digarap secara instan. Hasilnya SDI memahami financial
structure yang syariah serta dapat berperan sebagai Sumber Daya Insani yang
berkualitas dan berkompeten, serta harus siap menampilkan info info
terkini produk produk syariah berdasarkan akad syariah yang digunakan.
Dalam suatu pelatihan syariah harus diciptakan upaya
untuk mengolah perdebatan, menggarap dilema kerja tim, tidak hanya mencerna
doktrin apa adanya. Menikmati refleksi diri dan secara serius mendalami
berbagai proses keuangan syariah dan turunannya, semua ini tidak hanya angin
lewat saja. Akan menjadi mubazir
besar, bila sebuah pelatihan yang dijalani tidak diikuti dengan
sungguh-sungguh. Bagaimana mungkin individu bisa jadi SDI handal dan ideal tanpa
upaya untuk betul-betul menggarap aspek-aspek pengembangan diri. Tantangan
terbesar SDI bukan ujian terhadap pengetahuan atau knowledge-nya saja, namun justru datang dari kehebatannya dalam
mengelola aspek duniawi dan ahklakul
qarimah.
Evaluasi Diri Sendiri
Banyak sumber daya yang dalam melayani cepat meradang,
tidak bisa menahan emosi padahal pakaian yang dikenakan hampir semua pegawai lembaga
syariah sudah mengisyaratkan bahwa dia harus sabar. Hal ini bisa dipahami karena
bila berada pada situasi terjepit ataupun krisis seperti yang dihadapi, SDI
membutuhkan ketahanan dan ketekunan yang luar biasa. Hanya orang orang
yang optimis yang mampu menghadapi turbulensi ekonomi dan sosial di masa
sekarang ini. Di lain pihak, penyeimbangan antara optimisme dan realitas ini
memang bukan hal yang mudah. Tidak selamanya seorang pegawai bawahan berani
membuka kekurangan dan realitas buruk kepada rekannya karena tidak
ingin teman kerja melihatnya pesimis dan turun semangat.
Seharusnya SDI diciptakan sudah teruji dari situasi yang
menempatkannya pada posisi konvensional dan syariah, terjepit antara manajemen
dan rekan sekerja, terdesak antara kesempatan dan keterbatasan. Inilah sebabnya
banyak ditemui pegawai syariah yang plin-plan, tidak bisa memberi gambaran yang
gamblang atau memberikan arahan yang jelas mengenai keuangan syariah pada
konsumen, bahkan seolah terkesan tidak mengerti sama sekali. Pertanyaannya,
dalam menghadapi situasi transisi konvensional ke syariah ini, pada siapa
seorang SDI bersandar? Pada siapa SDI belajar? Pada siapa ia bertumpu? Tentu
saja, ia harus kembali pada dirinya sendiri. Jelas, bila dalam diri seorang SDI
tidak terjadi pengolahan batin yang berakar pada Ilahiyah, segala pengetahuan
ekonomi syariahnya, keahlian bahkan penampilan yang dimilikinya, pada suatu
saat bisa jadi sumber daya usang yang tidak dipercaya oleh masyarakat.
Kembangkan Moralitas
Energi, disiplin diri, ‘willpower’ serta kekuatan pengertian
akan jual beli manfaat perlu ditempa, dilatih dan ditingkatkan. Bisa
dibayangkan bagaimana kacaunya bila seseorang SDI tiba-tiba diposisikan pada
bidang pekerjaan lainnya yang tidak dilakukan secara rutin setiap hari,
dituntut untuk mempraktekkan pengambilan keputusan dan pemberian arah yang
jelas, sementara ia tidak memiliki dan tidak mengasah kualitas pengetahuannya dengan
sungguh-sungguh. Oleh karena itu hanya dengan ketahanan mental dan pengetahuan
keuangan syariah yang mumpuni serta tawaqaltu,
dia akan bisa tumbuh.
Pelatihan yang diadakan dalam rangka mencetak SDI sangat
fokus menekan moral, yang berakibat membawa individu kepada “moral courage”
untuk menghadapi tantangan ekonomi yang diciptakan manusia. Hanya dengan
keberanian menerapkan suatu sistem yang masih awam, seorang SDI bisa bergerak
dari otoritas formalnya, menuju yang lebih informal seperti membangun collective
intelligence, lalu memobilisasi masyarakat untuk memecahkan kebuntuan
ekonomi global. Fleksibilitas dan kesejajaran ini hanya bisa diterapkan oleh SDI
yang sudah ‘lulus’ berlatih moral dan mengerti kezoliman ekonomi, yaitu dengan memperbanyak
transaksi mudharobah dan musyarokah (bermitra).
Perlu Menjaga
Kualitas
Materi pelatihan dalam rangka mencetak SDI, sebaiknya lebih banyak dorongan pada individu
untuk mengembangkan ibtikar (innovation)
ke dalam dirinya. Bila seorang SDI bisa melihat ke dalam dirinya, barulah ia
bisa merefleksinya pengetahuan Ilahiyahnya ke orang lain melalui akad. SDI yang
tidak memulai dari diri sendiri untuk mengembangkan segala ikhtiar akan tampil
sebagai SDI yang tidak peka, yes man
saja, sehingga karakteristik pembiayaan yang menjadi dasar pengembangan syariah
menjadi stagnan. “Everything base on
logic not everything base on the market”, yang berarti bahwa usaha syariah
melalui pemberdayaannya selain bermakna syariah juga beradab dan beretika dalam
hakiki berbisnis.
Sebagai SDI, individu selalu memikirkan strategi
bagaimana mengendalikan pikiran pribadi dan keinginan untuk memajukan orang
lain. Salah satu caranya adalah dengan secara sadar mengembangkan “inner
dialogue” yang jujur dan terbuka dengan dirinya. Misalnya saja, bertanya
pada diri sendiri: “Apakah kualitas
saya sudah memadai? Apakah usaha syariah ini akan menjadi jembatan sirotol
mustaqim? Apakah keuangan syariah dapat men-deliver masyarakat kecil
kedalam segmen sejahtera?”. Hanya dengan keterbukaan dan kejujuran pada
diri sendiri, seorang SDI mampu mengembangkan ‘passion’ umat manusia,
tanpa kehilangan sisi manusiawinya. Hanya dengan kepekaan yang kuatlah, semua pengetahuan
seorang SDI diterapkan untuk menjauhi freud
dan akan lebih “make sense”. Semakin beradab punggawa punggawa syariah
maka kualitas pelayanannya semakin variatif sehingga value proposition perbankan syariah “lebih dari sekedar bank” mudah
dikenali dan dirasakan masyarakat.(ER & SS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar