Ini adalah masa-masa sulit. Angka pengangguran bertambah. Lalu
lintas semakin tidak kondusif. Polusi semakin pekat. Banjir mengancam. Otoritas
tidak bisa dijadikan pegangan. Kondisi ekonomi
sulit diprediksi. Kebenaran semakin tidak terang. Ketidaksiapan menghadapi
bencana, membuat kita menyaksikan semakin banyak orang menderita. Ini benar
benar ‘crunch time’. Banyak orang stres. Seorang ahli manajemen, Gerben
A. van Kleef menyatakan bahwa ‘mental fatique’ atau kelelahan mental
seorang pemimpin dalam masa-masa sulit, sering justru makin menyebabkan
terperosoknya semangat orang di sekitar kita, anak buah atau bawahan
lebih dalam.
Sekarang memang saatnya menentukan
sikap dan tindakan. Inginkah kita terus meratap, menyalak dan meraung? Seorang
teman, dalam keadaan Negara yang galau ini malah mengirimkan pesan teks ke
saya: “Enjoy your moments of truth”. Kalimat sederhana itu seketika
membuat saya tergugah. “Bukankah kita masih bisa mensyukuri banyak hal,
mengupayakan banyak hal, mempertimbangkan pelanggan yang menunggu servis kita,
memuaskan ‘stakeholders’ kita, membangun generasi muda kita, melakukan “coaching”,
dan begitu banyak pe –er di depan mata yang tidak bisa kita hindari? Kita pun bisa bertanya sendiri : “Apa
yang kita dapatkan dengan bersungut-sungut? “,“Apa dampaknya
kalau kita terus meratap dan
meraung?”.
“Sadarkah kita bahwa emosi menular dan anak
buah atau bawahan bisa jadi ketularan turun semangat?” Seorang atasan
atau pemimpin yang baik, perlu memiliki kemampuan menghidupkan semangat
tim dan bawahannya dalam keadaan segalau dan sekritis
apapun. Ingat bahwa emosi orang di sekitar kita adalah tanggung
jawab kita juga.
Investasi Emosi
Dalam menyelesaikan pekerjaan, kita memang harus fokus pada tugas dan hasil kerjanya. Sangat wajar bila kita kemudian
mengabaikan emosi individu. Ada manajer yang berkomentar:” Terlalu mewah
untuk mempedulikan emosi anak buah di masa-masa sulit begini. Yang siap ikut,
ya, ikut. Yang tidak bersedia, kita tinggal sajalah!”. Padahal, bila dipikir-pikir,
ada dua hal penting yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, kita tidak pernah
bisa mengingkari bahwa individu yang bagus adalah asset. Hanya
dalam keadaan emosi yang stabillah ia bisa berkinerja dobel. Hal kedua adalah,
sebagai pemimpin, kita tentunya tidak ingin mentalitas dan emosionalitas anak
buah merosot, bukan? Sebab itu berarti spirit dan energi dalam lingkungan kerja,
cepat atau lambat akan terpengaruh ke arah yang negatif juga. Kalau sudah sampai
di titik terendah, akan sulit sekali untuk mengangkatnya kembali. Suasana
emosi kelompok yang sudah terlanjur skeptis dan pesimis
bahkan bisa jadi tidak bisa diperbaiki dengan uang.
Dalam keadaan terpuruk di mana ‘reward’
finansial sulit disediakan, kita justru perlu melipatgandakan investasi emosi
yang bahkan bisa tidak makan biaya sama sekali. Spiritnya adalah mengembangkan
hubungan manajemen – karyawan, atasan – bawahan, antar tim dan divisi yang
berkualitas dan positif. Kita tentu bisa merasakan bahwa investasi emosi akan
memperbaiki hubungan, meningkatkan dukungan, juga mengembangkan rasa percaya. Keadaan
emosi yang positif ini sulit sekali dibentuk secara instan. Bagaimana investasi
emosi ini ditumbuhkan? Ia datang sebagai hasil apresiasi, sambung rasa,
perasaan didengarkan, dilibatkan, diperhitungkan dan juga kebebasan berpikir
dan bertindak. Emosi positif yang terpancar akan menjadi penyejuk dan
penyemangat. Kemampuan tim untuk menyelesaikan masalah, mengambil keputusan pun
otomatis jauh lebih baik, karena mempertimbangkan “concern” yang bisa
menjadi dukungan satu sama lain.
Keceriaan: Pembangkit Energi
Seorang eksekutif
kenalan saya sering menggunakan istilah ‘holding hands’ dalam upayanya
menjaga enerji rekan rekan kerjanya. “Dalam krisis begini, tidak ada yang bisa
menjamin ‘job security’. Satu-satunya cara agar teman-teman yang masih
ada dalam tim tetap berupaya dan berkinerja adalah rasa kebersamaan dan
keyakinan untuk berbagi susah dan senang.” Sebagai pemimpin, kita tentu
tidak boleh lupa, bahwa kitalah yang punya tugas untuk menjadi penyemangat,
penggerak, pendorong atau ‘cheer leader’. Mau tidak mau, pemimpin adalah
pusat emosi kelompok. Sikap ‘gloomy’ atau cemberut berlarut-larut yang kita
tampilkan, pastilah tidak akan bisa ‘mengangkat’ emosi dan enerji orang di
sekitar kita. Hanya dengan menularkan keceriaan, asa keterpurukan bisa kita
angkat.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Dalam satu acara diskusi dengan sekelompok pemimpin satuan kerja,
seorang peserta berkomentar mengenai
visinya untuk pengembangan manusia: “Saya ingin mengajak anak buah saya, melihat titik terang di kejauhan, dari lorong yang gelap”. Ungkapan ini spontan mengundang tepuk
tangan teman teman peserta diskusi.
Sungguh sesuatu yang menyegarkan. Kita tahu bekerja keras, menyelesaikan
proyek, mengabdi, berjuang, bisa menjadi kegiatan yang berat dan sekaligus
‘fun’. Kita bisa berfikir kreatif bagaimana membuatnya ‘fun’. Dalam
situasi “sulit”, hanya orang-orang yang fanatik dan antusias mengenai
kehidupanlah yang masih bisa mengajak lingkungan sekitarnya tersenyum,
bagaimana pun keadaan emosi dirinya. Orang-orang seperti ini pasti meyakini
bahwa “good things will happen, good things do happen.". Tersenyumlah,
karena ia membawa aura positif.(Expert : Eileen Rachman Sylvina Savitri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar