Senin, 09 September 2013

Kesenjangan Generasi

          Setiap generasi pasti memilki kekhasannya sendiri. Kita tidak bisa menutup mata bahwa perbedaan ini tak jarang menjadi sumber ketegangan. “Saya tersinggung dengan anak-anak baru ( PCPM baru masuk), mereka tidak punya rasa hormat pada pegawai senior, mereka merasa di atas angin karena lulusan PCPM dan menganggap diri paling pintar. Seharusnya mereka belajar dulu di tempat paling bawah sekitar setahun, agar mengetahui tata krama bekerja. Mereka perlu mendapat ‘coaching’ superketat dari atasannya. Jujur saja, saya tidak sanggup melakukannya,: demikian ungkap seorang Kepala Bidang (yang minta pensiun dini) karena tidak tahan dengan perilaku anak baru Gen-Y tersebut, yang sebenarnya terkenal kreatif dan “Tech-Savvy”. Ada manajer (dulu kepala seksi) lain yang mengeluh,” Universitas sekarang tampaknya tidak membuat para lulusannya menjadi pribadi yang matang. Seingat saya, saya lebih matang saat berusia 20 tahun deh.”  

          Kesenjangan generasi memang sangat biasa terjadi. Gaya komunikasi, pola asuh, dan kemajuan teknologi sudah jauh berbeda dari tahun ke tahun, kita mengenal generasi yang baru dengan sebutan macam-macam : Generation Next, Net Generation, atau Echo Boomers. Generasi ini seperti generasi Beatles alias Flower Generation pada masanya, banyak diberi komentar negatif oleh generasi sebelumnya.

          Ada yang menyebutkan generasi sekarang lebih tidak bertanggungjawab, tidak bisa “ditembus” dalam komunikasi dan tidak “komit” dalam menghadapi pekerjaan. Tetapi Benarkah itu” Bukankah di sisi lain kita melihat pada era sekarang, teman-teman yang masih berusia di bawah 30 tahun bisa masuk dalam jajaran 100 orang terkaya di dunia? Banyak dari mereka juga terbukti lebih mandiri dalam bekerja dan menghasilkan karya-karya kreatif (lihat penemu Face book). Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa para “Gen -Y” ini sejak lahir sudah melek teknologi, sehingga mereka lebih mendominasi penyebaran informasi dengan media baru. Kita generasi -X pasti menyadari bahwa dalam kurun waktu tidak lebih dari satu dekade, mau tidak mau, kepemimpinan di lembaga ini akan beralih pada generasi-Y ini.

          Masihkah kita menghindar dari kebutuhan untuk lebih memahami dan bekerja sama dengan generasi muda ini? Apalagi kita semakin menyadari bahwa saluran komunikasi akan beralih dari yang konvensional ke saluran komunikasi yang saat ini dikenal oleh generasi mereka.  Tidak ada pilihan lain, kecuali berusaha menjembatani kesenjangan ini dan mencari cara-cara baru dalam berkomunikasi dan beroganisasi dengan generasi-Y ini.
          Kita mungkin bisa lebih berempati bila membayangkan betapa generasi sekarang tumbuh ketika komunikasi dan informasi bisa didapatkan dengan cara yang mudah dan murah. Hal inilah yang menyebabkan mereka mempunyai sikap dan pandangan berbeda mengenai kesempatan. Bagi mereka, kesempatan memang sangat tidak terbatas. Bila sebelumnya kita memiliki hambatan untuk mengglobal, tidak demikian dengan mereka. Anak muda sekarang biasa menembus jaringan tanpa batas, sehingga tumbuh menjadi generasi multicultural, interaktif dan kolaboratif dengan caranya sendiri. Mereka pun lebih mudah antusias terhadap apa saja yang ada di hadapannya, walauypun mungkin tidak terlalu tahu substansinya. “Ah, kita browse saja di internet”, itu keyakinan mereka.


          Mereka yang memang sudah tech savvy jadi lebih optimis, lebih “care” terhadap komunitas dan bahkan biasa menjadi “multitasker” kronis. Dengan ditunjang kemudahan teknologi dan cara-cara interaksi personal, generasi muda sekarang memang berbeda bagai bumi dan langit dengan generasi gaptek, penuh struktur dan biroraksi. Pertanyaannya, sampai kapan kita mau menekankan perbedaan antara bumi dan langit ini? Mengapa justru kita tidak melihat tantangan untuk memanfaatkan talenta baru, misalnya, untuk menemukan hal-hal yang dulu tidak terpikirkan oleh kita? Sebaliknya, kita juga perlu mawas diri tentang cara berkomunikasi kita, karena teman-teman muda kita ini mempunyai lifestyle digital, sangat tribal, dan terlibat dalam kelompok sosial kecil maupun besar.
          Mari  tembus kesenjangan ini dengan belajar kepada mereka. Dari mana kita belajar mengenai kecanggihan komunikasi digital? Banyak sekali orang tua yang belajar memakai laptop dan membuka akun facebook atau twitter karena bantuan anak, bukan? Hasil survey menyebutkan bahwa 40 persen dari generasi non-Y belajar mengenal Youtobe, Facebokk dll dari anak-anak Gen-Y”. hal ini merupakan fakta bahwa jalan yang mudah untuk menembus kesenjangan generasi ini. Jadi, isunya adalah bukan menunggu mereka “behave” dan menyesuaikan diri dengan kultur lama yang sudah berlangsung, tetapi justru belajar dari Gen-Y  ini tentang hal-hal yang memang sudah merupakan keharusan untuk dikuasai. Gen-Y yang terkenal pembosan ini juga menyukai tantangan. Mereka bisa diberi tugas-tugas riset yang menarik. Kita juga bisa melihat betapa mereka pun menguasai cara-cara marketing elektronik yang tidak dikenal, yang langsung bisa kita manfaatkan untuk inovasi. Kitalah yang mempersiapkan organisasi untuk merangkul generasi selanjutnya. Kalau kita selama ini mengecap mereka tidak siap, pertanyaannya : mungkinkah kita yang tidak mempersiapkan diri menyambut mereka?.  (tanggapan atas artikel Kenalkan Saya Pegawai BI, Gen Y pada majalah Fokus BI edisi 15 – Mei Juni 2013).(Mardiana Kamarullah).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar