Dengan begitu berkembangnya teknologi, semakin mudah saja kita menemui
orang - orang di sekitar kita, atau bahkan kita sendiri, yang begitu sibuk
dengan berbagai gadget. Mulai dari
eksekutif top, sampai ABG. Seorang teman bahkan bela – belain membawa laptop
pribadi ke kantor karena kantor tidak memberi akses internet bagi semua
karyawan, agar ia tidak kehilangan kontak dengan dunia maya. Ia lalu
memasangnya laptop-nya di sebelah komputer kantor, agar senantiasa terkonek
dengan jejaring sosial, sepanjang jam kerja.
Nggak heran kalau di lingkungan pergaulan ada pula sekelompok orang yang
menamakan dirinya “anti BB alias anti-Blackberry”. Mereka menyuarakan
keprihatinannya akan kehidupan gaya baru yang membuat orang menjadi tidak ‘being
present’, tidak peduli akan apa yang terjadi di sekelilingnya, lebih
dominan tersedot ke sebuah layar kecil yang seolah berbicara, berceritera,
membawa kabar gembira, memberi instruksi dan memberi banyak stimulus yang
menyebabkan kita terbenam ke dalamnya.
Bayangkan saja, bila blackberry di tangan kiri, sementara di hadapannya komputer
dengan belasan windows yang terbuka
sekaligus. Baru sebentar menekuni tugas tertentu, segera saja terdengar bunyi: ”ping!”,
entah dari yahoo messenger, sms, chat
facebook, ataupun blackberry messenger
yang memanggil. Dan hampir semua dari kita, dengan setianya langsung merespon
dan berpindah perhatian ke si pemanggil, padahal belum tentu pesan tersebut
berguna, misalnya: ”lagi ngapain…?”. Sadarkah kita akan cost yang kita tanggung akibat Ping – Ping
yang menginterupsi?
Temanku memang ratu multitasking.
Sambil mendengarkan keluhan bawahannya, ia ingat untuk me-remind pembantunya membeli daging rawon. Bersamaaan dengan
mendiskusikan jalan keluar keluhan bawahan, ia sekali-sekali bisa melirik ke incoming mail -nya, memonitor
perkembangan dari situasi yang perlu ditindaklanjuti. Pertanyaannya: berapa
orang dari populasi manusia yang mempunyai kapasitas seperti teman kita ini? Ya,
tidak semua orang dianugerahi talenta multitasking seperti ini. Jika katakanlah,
bawahannya meniru melakukan hal yang sama dengan atasannya, siapa yang akan
menekuni pekerjaan pekerjaan yang butuh fokus dan konsentrasi tinggi? Dan bila
bawahan memperbolehkan dirinya diinterupsi setiap saat, kapan waktu ia
bisa melakukan pekerjaannya dengan tuntas dengan kualitas yang baik?
Kita yang saat ini berada dalam knowledge economy , di mana
berjuta pengetahuan yang ada dan datang perlu dicermati dan dipilih baik-baik,
ditantang dengan situasi di mana banyak sekali, terutama penduduk Asia,
melakukan “task-switching,” berpindah dari satu tugas ke yang lain.
Situasi ini menjadikan kita tidak cukup punya kesempatan mengendapkan dan
memusatkan perhatian kita pada hal yang benar-benar penting.
Tanpa disadari banyak, diantara kita menginterupsi, syukur - syukur kalau
tidak dipermainkan oleh interupsi. Bahaya yang tidak kita sadari akibat
interupsi ini, bukan saja pada waktu yang terbuang, tapi juga pada terlepasnya
fokus kita pada tugas yang pertama. Dalam atmosfir ‘overload’ informasi dan interupsi yang konstan ini, rupanya
kreatifitas berpikir kita juga terancam. Alangkah bahayanya. Kita akan sulit mengeluarkan
solusi kreatif, karena kita tidak bisa mendalami permasalahannya dengan baik. Bisa
bisa kita dibingungkan dan mencampuradukkan antara realita penerapan teknologi
dengan kegiatan mengembangkan dan menginovasi pengetahuan baru. Dalam era digital’ ini, nampaknya banyak orang
lupa bahwa pemusatan perhatian adalah sebuah kompetensi yang sangat penting dan
perlu diperhatikan.
Kita sebagai mahluk biologis memang dibekali sistem kewaspadaan terhadap
perubahan situasi. Contohnya reaksi-reaksi refleks kita, kemampuan
menyelamatkan diri dari bahaya. Tentunya di era ‘speed’ dan ‘mobility’
ini, beraksi terhadap ‘ping-ping’ dari gadget yang kita miliki sangat wajar. Namun, jangan kita
lupakan bahwa ada tugas tugas berpikir seperti analisa, sintesa,
berstrategi, berinovasi dan mengarahkan serta memfokuskan perhatian kita.
Selain itu, kita pun perlu menghargai situasi tatap muka yang sedang kita hadapi, yang
justru dijamin jauh lebih kaya daripada informasi layar gadget yang tidak
mengandalkan kekuatan persepsi dan multisensori kita. Belum lagi
respek, perasaan kita dan perasaan orang yang hadir di hadapan kita, bukan saja
perlu diperhitungkan, tetapi juga merupakan sumber informasi tersendiri pula. Teknologi
perlu kita gunakan lebih bijaksana, before
membuat kita bodoh sebelum waktunya.(ER&SS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar