Senin, 02 September 2013

Work Smart, Play Hard

Dengan begitu berkembangnya teknologi, semakin mudah saja kita menemui orang - orang di sekitar kita, atau bahkan kita sendiri, yang begitu sibuk dengan  berbagai gadget. Mulai dari eksekutif top, sampai ABG. Seorang teman bahkan bela – belain membawa laptop pribadi ke kantor karena kantor tidak memberi akses internet bagi semua karyawan, agar ia tidak kehilangan kontak dengan dunia maya. Ia lalu memasangnya laptop-nya di sebelah komputer kantor, agar senantiasa terkonek dengan jejaring sosial, sepanjang jam kerja.  

Nggak heran kalau di lingkungan pergaulan ada pula sekelompok orang yang menamakan dirinya “anti BB alias anti-Blackberry”. Mereka menyuarakan keprihatinannya akan kehidupan gaya baru yang membuat orang menjadi tidak ‘being present’, tidak peduli akan apa yang terjadi di sekelilingnya, lebih dominan tersedot ke sebuah layar kecil yang seolah berbicara, berceritera, membawa kabar gembira, memberi instruksi dan memberi banyak stimulus yang menyebabkan kita terbenam ke dalamnya.


Bayangkan saja, bila blackberry di tangan kiri, sementara di hadapannya komputer dengan belasan windows yang terbuka sekaligus. Baru sebentar menekuni tugas tertentu, segera saja terdengar bunyi: ”ping!”, entah dari yahoo messenger, sms, chat facebook, ataupun blackberry messenger yang memanggil. Dan hampir semua dari kita, dengan setianya langsung merespon dan berpindah perhatian ke si pemanggil, padahal belum tentu pesan tersebut berguna, misalnya: ”lagi ngapain…?”. Sadarkah kita akan cost yang kita tanggung akibat Ping – Ping yang menginterupsi?  

Temanku memang ratu multitasking. Sambil mendengarkan keluhan bawahannya, ia ingat untuk me-remind pembantunya membeli daging rawon. Bersamaaan dengan mendiskusikan jalan keluar keluhan bawahan, ia sekali-sekali bisa melirik ke incoming mail -nya, memonitor perkembangan dari situasi yang perlu ditindaklanjuti. Pertanyaannya: berapa orang dari populasi manusia yang mempunyai kapasitas seperti teman kita ini? Ya, tidak semua orang dianugerahi talenta multitasking seperti ini. Jika katakanlah, bawahannya meniru melakukan hal yang sama dengan atasannya, siapa yang akan menekuni pekerjaan pekerjaan yang butuh fokus dan konsentrasi tinggi? Dan bila bawahan  memperbolehkan dirinya diinterupsi setiap saat, kapan waktu ia bisa melakukan pekerjaannya dengan tuntas dengan kualitas yang baik?

Kita yang saat ini berada dalam knowledge  economy , di mana berjuta pengetahuan yang ada dan datang perlu dicermati dan dipilih baik-baik, ditantang dengan situasi di mana banyak sekali, terutama penduduk Asia, melakukan “task-switching,” berpindah dari satu tugas ke yang lain. Situasi ini menjadikan kita tidak cukup punya kesempatan mengendapkan dan memusatkan perhatian kita pada hal yang benar-benar penting.

Tanpa disadari banyak, diantara kita menginterupsi, syukur - syukur kalau tidak dipermainkan oleh interupsi. Bahaya yang tidak kita sadari akibat interupsi ini, bukan saja pada waktu yang terbuang, tapi juga pada terlepasnya fokus kita pada tugas yang pertama. Dalam atmosfir ‘overload’ informasi dan interupsi yang konstan ini, rupanya kreatifitas berpikir kita juga terancam. Alangkah bahayanya. Kita akan sulit mengeluarkan solusi kreatif, karena kita tidak bisa mendalami permasalahannya dengan baik. Bisa bisa kita dibingungkan dan mencampuradukkan antara realita penerapan teknologi dengan kegiatan mengembangkan dan menginovasi pengetahuan baru. Dalam era digital’ ini, nampaknya banyak orang lupa bahwa pemusatan perhatian adalah sebuah kompetensi yang sangat penting dan perlu diperhatikan.

Kita sebagai mahluk biologis memang dibekali sistem kewaspadaan terhadap perubahan situasi. Contohnya reaksi-reaksi refleks kita, kemampuan menyelamatkan diri dari bahaya. Tentunya di era ‘speed’ dan ‘mobility’ ini, beraksi terhadap ‘ping-ping’ dari gadget yang kita miliki sangat wajar. Namun, jangan kita lupakan bahwa ada tugas tugas berpikir seperti analisa, sintesa, berstrategi, berinovasi dan mengarahkan serta memfokuskan perhatian kita. Selain itu, kita pun perlu menghargai situasi tatap muka yang sedang kita hadapi, yang justru dijamin jauh lebih kaya daripada informasi layar gadget yang tidak mengandalkan kekuatan persepsi dan  multisensori kita. Belum lagi respek, perasaan kita dan perasaan orang yang hadir di hadapan kita, bukan saja perlu diperhitungkan, tetapi juga merupakan sumber informasi tersendiri pula. Teknologi perlu kita gunakan lebih bijaksana, before membuat kita bodoh sebelum waktunya.(ER&SS) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar