Kalau ada dua orang berhadapan, saling menatap, dan kemudian salah satu
mengambil kesimpulan: ”Kita beda”, maka menurut pendapat saya, justru
mereka sebetulnya sudah menemukan kesamaan. Di sinilah persepsi mengenai
perbedaan dan persamaan akan terasa keindahannya, karena masing-masing individu
yang berhadapan itu sudah “menemukan dirinya”, keunikannya, dan bahkan “value
adding”-nya, sebagai manusia yang utuh. Itulah sebabnya kita memang perlu
berbangga dengan semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika; kesamaan
dalam perbedaan, yang sampai-sampai oleh DJ Romy, cucu Soekarno juga dijadikan
tema album terbarunya: “Unity in diversity”.
Namun demikian, meski kita sering mengakui bahwa perbedaan itu indah,
begitu sering juga kita tidak melihat perbedaan sebagai suatu kekayaan.
Pikirkan betapa sering kita ‘buang muka’ bila menemukan orang yang berbeda
pandangan dengan kita, bergosip di belakang orangnya, membahas mengapa dia
beda, dan bahkan kemudian kita mulai melakukan manuver-manuver penyerangan
seolah dia atau mereka itu musuh bebuyutan yang harus dibasmi. Di dalam rapat
kita sering menemui jalan buntu sekedar karena berbeda pendapat mengenai
cara pemecahan masalah atau cara meraih sasaran yang sebetulnya adalah sasaran
bersama. Dalam kondisi begini, ternyata perbedaan membuat kita tidak nyaman dan
bahkan membangkitkan suasana permusuhan. Alih–alih menyamakan visi dan sasaran,
berbicara pun sering tidak kita upayakan, bila sudah terjebak dalam konflik
yang disebabkan adanya perbedaan.
SAMA TAPI BEDA
Sikap ‘jijik’ terhadap perbedaan adalah sikap yang mutlak salah, karena
dengan demikian kita lupa bahwa kesamaan bisa membuat kita justru miskin dan
tidak berkembang. Kesamaan latar belakang, pendidikan, kompetensi, dan komitmen
yang sering membuat lingkungan kita ‘nyaman’, terkadang justru membuat kita
jadi tidak bisa menggerakkan suatu tim. Mereka yang bisa menampilkan
keberbedaaannya, kemenonjolannya, dan keunikannya-lah yang kemudian malah bisa
mulai memberi nilai tambah kepada tim.
Pemahaman mengenai kesamaan dan perbedaan sesungguhnya adalah dasar untuk
mengolah sebuah tim yang berkekuatan besar. Tanpa menyamakan persepsi, misalnya
mengenai situasi yang sedang kita hadapi, perilaku yang muncul, serta kekuatan
dan kelemahan yang ada, kita tidak bisa mempunyai dasar untuk tinggal landas.
Padahal, bukankah suatu situasi yang sama sering dilihat dengan pendekatan yang
beda? Individu yang satu melihat detilnya, sementara yang lain melihat
keseluruhannya. Ada individu yang banyak melihat, ada individu yang lebih
‘mendengar’, sementara yang lain lebih dominan perasaannya dalam mendekati
suatu gejala dan fenomena. Belum lagi, pandangan dua orang yang
akan berbeda total bila yang satu melihat dengan kepentingan jangka pendek,
sementara yang lain melihat dengan kepentingan jangka panjang.
Penyamaan persepsi ini sebetulnya terjadi pada setiap manusia dewasa yang
berniat dan mampu melihat suatu gejala secara obyektif. Tanpa kemampuan ini,
individu akan mencampuradukkan keyakinan, nilai dan visinya dengan perbedaan
pandangan pihak lain, sehingga individu lain dianggapnya berseberangan. Di
sinilah kemudian, kelompok bisa tidak sejalan satu dengan yang lain, divisi A
berkonflik dengan divisi B, partai politik berseteru satu dengan yang lain,
akibat ketidakmampuan melihat kepentingan bersama, visi dan tujuan
bersama yang sebetulnya sama dan itu tidak mereka sadari.
MULAI DENGAN MEMOTRET DIRI SENDIRI
Ilmu “emotional intelligence” mengajarkan pada kita untuk
meningkatkan ’self awareness’ kita dulu, bila kita berharap untuk mampu
menguasai situasi sosial atau mempengaruhi orang lain. Ini adalah bagian dari
‘eksplorasi mental’ yang perlu kita lakukan dengan sengaja. Tanpa melakukannya,
kita akan tumbuh menjadi orang yang kian picik, karena tidak bisa memanfaatkan
keberbedaan yang berangkat dari analisa diri dan situasi yang obyektif. Banyak
istilah seperti “test the water’, ‘feel the breeze’ yang kurang
lebih artinya adalah menajamkan sensor untuk memahami diri dan situasi sekitar
kita.
Cara yang paling mudah untuk ’memotret diri’ ini adalah dengan
membandingkan diri kita dengan orang lain, memahami kesamaan, terutama persepsi
dan pemahaman, kemudian mengidentifikasi keunikan serta keberbedaan orang lain.
Hanya dengan ketajaman mental seperti ini kita bisa mengembangkan respek
terhadap orang lain. Dalam proses eksplorasi mental
ini, kita pasti secara otomatis ingin merasa benar, ingin membela diri dan
bahkan ingin meneruskan cara-cara kita yang lama dan yang sudah ada. Hal ini
sangat manusiawi karena manusia memang dibekali proses mental untuk menjaga
keseimbangan jiwanya. Namun demikian, orang yang ingin memperkuat mentalnya,
perlu juga melakukan ‘judging, comparing, interpreting, anticipating,
rehearsing’, yang artinya mengolah input yang masuk dan mencocokkannya
dengan realita, mencari kebenaran dan mengambil resiko bahwa ada kemungkinan ia
harus berubah. Hanya dengan cara inilah kita sebagai manusia, berkembang
menjadi manusia yang berpikiran fleksibel dan berpikiran terbuka dalam
menghadapi tantangan..
BAYANGKAN KALAU KITA SAMA SEMUA
Kalau kita, di dunia ini sama semua, maka pastilah kita akan merasa seperti
robot ciptaan manusia yang sudah diberi bobot emosi, seperti yang digambarkan
lewat film-film science fiction yang marak sekarang. Berbedanya bakat, latar
belakang, pendidikan, dan kompetensi lainnya adalah kekayaan keluarga,
kelompok, bahkan Negara. Perbedaanlah yang memungkinkan kita bisa saling
melengkapi kekurangan satu sama lain, hingga terciptanya sinergi. Hanya saja
memang perlu diakui bahwa menonjolkan keberbedaan alias keunikan kita tidaklah
mudah.
Kita tentunya tidak bisa berperilaku aneh-aneh untuk mengekspresikan
keberbedaan kita. Kita pun tidak bisa berkoar-koar menonjolkannya. Kita tahu
bahwa kita memang perlu mengekspresikan bahwa “saya adalah saya”, sementara
“saya” ini mempunyai nilai, keyakinan, kompetensi dan sasaran sendiri. Satu-satunya
jalan bersikap dewasa adalah dengan sedikit mengambil ‘jarak’ terhadap diri dan
memperbolehkan diri kita sendiri atau siapa saja meninjau kembali, mengetes
lagi, kompetensi, nilai, keyakinan kita. Bukankah
keyakinan juga bisa salah dan nilai pun bisa usang? Untuk Negara dengan 12000
pulau dan ribuan suku bangsa yang ingin bersatu, dengan banyaknya partai politik
peserta pemilu 2014 yang disahkan , keterbukaan inilah yang mutlak diperlukan: Bhinneka Tunggal Ika. ….Merdeka!!! (Expert :
Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar