Kamis, 05 September 2013

Karir kita Adalah Hasil Usaha Kita

 

Persepsi di mana manajemen karir, baik penunjukkan, pengangkatan, dan penilaian datangnya dari ’atas’, memang ada dan masih bisa kita temukan sampai sekarang, terutama di organisasi yang birokratis, seperti organisasi pemerintah atau ketentaraan. Sementara dalam bisnis, dengan berkembangnya praktik yang kompetitif dan semakin nyatanya eksodus akibat pasar kerja global, banyak kita lihat terjadi pergeseran pada hubungan ketenagakerjaan. Metafora seperti “karir itu berbentuk tangga atau piramid”, sudah berganti dengan  paradigma baru seperti “jeruk  makan jeruk”, atasan bisa jadi bawahan.

Employe sekarang, kebanyakan sudah matang dan berbasis pengetahuan serta kompetensi yang kuat, sudah tidak mudah terkecoh pada kutu loncat berimbalan besar, tetapi akan mengincar professional dengan kompetensi, kemampuan berkembang yang tinggi dan kualitas pribadi yang mumpuni. Kompetensi individu bisa berkembang dalam jalur-jalur yang berbeda: spesialis atau generalis, bisa teknikal bisa juga manajerial, bisa ‘dalam’, bisa juga ‘luas’. Ada individu yang kuat dalam penyelesaian program jangka pendek, ada pula yang mampu berkelit di organisasi  yang birokratis. Ada yang berbakat menjadi pemain di organisasi kecil, ada pula yang baru bisa berkinerja bila struktur organisasi jelas. Mengenali kekuatan diri kita, memang bukan tanggung jawab orang lain. Kitalah yang paling tahu, emas tipe apa yang tertimbun di dalam tambang kompetensi kita dan bagaimana menjualnya di pasaran.

Dalam hal persaingan karir disebuah lembaga, pengembangan dan pembelajaran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan bagai dua sisi dalam satu koin logam, kita sering terjebak pada paradigma yang yang tidak komplit. Sementara proses pembelajarannya sering tertinggal dan tidak didalami. Pembelajaran akan didapatkan dari apa yang kita lakukan, pengalaman merasa kurang atau tertinggal dari yang lain adalah titik awal pembelajaran dimulai. Dalam usaha yang menggunakan sistem bagi hasil, sentuhan hati dan intergritas sangat diprioritaskan. Terciptanya kondisi untuk mendorong tumbuh kembangnya jiwa dan tanggung jawab sosial sangat diutamakan mengingat  secara prinsip usaha yang dilakukan mengedepankan rasa keadilan, keterbukaan, kemitraan dan universalitas.

Kita pasti bisa mengenali betapa banyaknya hambatan yang menyebabkan proses pembelajaran tidak berjalan lancar dan betapa kita sering menutup mata pada outputnya. Kita sering tidak mempelajari ”kondisi lapangan” beserta kompleksitasnya sehingga kita tidak tahu apakah pembelajaran ”kena” atau tidak.  Belum lagi, kesempatan mengikuti pendidikan mutu ketrampilan sering tidak kita manfaatkan betul sebagai ”pelajaran”. Kita pasti sadar betapa sering kita membuang muka, dan pura-pura tidak tahu mengenai kesalahan pemahaman, persepsi, ketidakjelasan dalam proses pembelajaran yang tidak kita benahi sampai tuntas. Bahkan, hal yang paling mudah dipersalahkan adalah programnya, pelatih, guru atau dosennya, atau sekalian saja lembaganya.


Saat ini banyak organisasi kaget dan menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada pengembangan dan pembelajaran. Kita pun, dinegara tercinta ini juga tersentak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia. Kita sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran tidak selamanya merupakan hasil dari sekolah dan universitas, oleh karena itu untuk menentukan seorang pegawai yang kompetitif dan naik karirnya sebaiknya tidak hanya bekal sekolah formal semata yang menjadi pertimbangan melainkan pengalamannya. Kita bisa menilai orang tersebut dari kompetensi dan daya juangnya serta nilai-nilai produktif dan positif, serta mempunyai “awareness” yang baik terhadap kemanusiaan, lingkungan dan moral yang pada akhirnya membawa percepatan pengembangan organisasi.


Untuk menjadikan sebuah organisasi pembelajar yang bersungguh, kita perlu meninjau dan membangun kembali beberapa aspek sikap mental tanpa tergantung pada orang lain ataupun pemimpin dikantor. Hal-hal ini perlu kita tekuni dan yakini dengan penuh kesabaran, sehingga menjadi sebuah kumpulan keyakinan dan obsesi kita. Pemimpin yang tidak membuat anak buahnya menjadi maju dan berkembang adalah pemimpin yang subhat, oleh karena itu maka dalam organisasi, pembelajaran oleh diri sendiri dan arahan pengembangan oleh pimpinan suatu yang tak boleh terpisahkan. 


Dalam budaya masyarakat kita, paradigma bahwa otoritas adalah yang paling tahu, paling bijak dan paling menguasai masalah, tentunya harus kita hapus cepat-cepat, karena menghambat pembelajaran. Sudah waktunya kita mengerahkan siapa saja untuk belajar dari mana saja dan siapa saja, serta menguakkan, mengadopsi, menganalisa, penyelesaian  pekerjaan, sikap kerja. Best practice yang sangat bisa kita tiru adalah banyak organisasi yang kini komit untuk menerapkan sistem pengembangan dan pembelajaran, di mana kesalahan dan perbaikan sistem akan disebarluaskan ke seluruh organisasi dan diperlakukan sebagai studi kasus, sehingga setiap individu yang tidak mengalaminya akan belajar dari kejadian ini juga.


Kita tidak boleh terlena dengan kompetensi yang kita miliki, kita harus siap menjawab tantangan karir dan menyikapi ketidakjelasan lapangan kerja di pasaran. Kunci kemajuan adalah kita tidak boleh lengah dalam meng-”update” teknologi, Kita pun tidak bisa hanya memikirkan “moving up” saja, tetapi perlu melihat ke “dalam” yaitu perluas cakrawala ilmu.  Hamparan kesempatan bidang syariah sangat luas sehingga kita juga harus menimba pengetahuan guna menekuni bidang yang menunggu untuk didalami karena sistem ini lebih modern, praktis, fleksibel namun tetap barokah dan berahlak mulia.
Pengetahuan sudah bukan milik elite tertentu lagi, kembangkan bawahan dan arahkan menjadi kader yang mapan sehingga karirnya terus berjalan. Dijaman sekarang pemimpin walaupun posisinya superior, ternyata tidak menyediakan alternatif karir tetapi individu yang ingin maju selalu mempunyai alternatif karirlah yang bisa lebih bebas membuat kesempatan bagi dirinya dan tidak melihat dirinya sebagai korban otak-atik strategi  manajemen SDM lembaga. So jika ingin maju, karir kita tergantung dari usaha kita sendiri dan usaha wajib hukumnya.(Expert : Eileen Rachman & Sylvina Savitri).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar