Kamis, 19 September 2013

G 30 S Padang

          Sore itu saya berkemas meninggalkan kantor untuk pulang, setelah siangnya saya ada janji dengan istri untuk mengajak makan malam diluar. Tiba tiba sekitar pukul 17.17 gedung kantor saya berguncang keras, waktu itu saya berada di lantai 3, yang merupakan lantai paling atas kantor saya. Kita yang terbiasa dengan guncangan gempa sebelumnya, menyangka ini akan berlangsung sebentar. Tapi goncangan gedung semakin kencang, sehingga menimbulkan bunyi yang sangat mengerikan. Komputer, laptop pada jatuh dari meja. Mesin foto copy yang berukuran besar tergeser jauh dari tempatnya semula. Sehingga para penghuni gedung segera berlarian ke luar. Sampai di lantai bawah, guncangan gedung tidak berhenti, bahkan semakin kencang, beberapa teman ada yang tersungkur di lantai. Kebetulan saya juga terjatuh dilantai dan kepala saya menghantam besi salah satu perangkat kantor. Saya baru sadar, darah bercucuran dari kepala saya, membasahi baju saya yang berwarna putih. Kondisi diluar sudah banyak orang berteriak histeris, teriakan takbir, dan juga pengendara motor banyak yg jatuh.  Lihat kondisi seperti ini , rasanya seperti akan kiamat.


          Saya langsung teringat istri saya, saya coba hubungi, ternyata istri yang sedang mengandung 5 bulan, menyelamatkan diri, mengikuti orang orang yang menuju ke arah jalan by pass lewat Pasar Alai. Dengan kondisi kepala berdarah, saya mencoba mencari istri. Berhubung  saat kejadian, jaringan telepon yang putus, dan ada satu operator yang masih berfungsi, itupun juga susah. Saya terus coba menghubungi istri, dan saya tanya posisinya ada dimana. Kebetulan istri tidak paham jalanan di Padang. 3 jam saya baru bisa menemukan istri saya, dalam keadaan lemas.


          Saya sementara waktu mengungi di tanah luas bengkel mobil di sekitar Pasar Alai, sambil menunggu kondisi aman, karena ada isu yang berkembang akan terjadi tsunami. Tengah malam saya kembali ke rumah kontrakan saya di GOR Agus Salim. Kondisi rumah memprihatinkan, tembok samping roboh, sehingga isi rumah keliatan semua dari luar. Perabotan didalam pada berhamburan kemana mana. Uang didompet istri saya hilang semua, untung yang diambil cuma uangnya saja. Saya ambil selimut dan beberapa makanan untuk mengganjal perut. Karena kondisi rumah yang sudah nggak bisa ditempati lagi, saya dan istri mengungsi kembali ke tanah lapang sekitar Pasar Alai, yang saya baru sadar paginya, bahwa itu pekarangan bengkel. Saya berdua di nagari urang, tidak pernah menyangka akan mengalami gempa sebesar ini, kami tidur didalam mobil. Harapan saya cuma satu, janin dan istri saya selalau dalam kondisi baik. Kami beristiraht dengan beberapa pengungsi lainnya. Kondisi kepala saya masih berdarah, karena belum sempat untuk ke rumah sakit.


          Besoknya, saya ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kepala saya yang berdarah, dan ternyata harus di jahit 3. Kondisi RS Yos Sudarso sudah sangat memprihatinkan. Banyak orang tua yang mencari anaknya di ruang UGD, di depan saya, seorang anak kecil meregang nyawa. Kondisi bangunan yang sudah sebagian hancur. Yang lebih mengenaskan, gedung perawatan khusus bagian ibu dan anak, bangunan hancur, dan pasien bayi dan ibu pasca melahirkan yang msh dalam perawatan, diungsikan di tenda tenda darurat dan sebagian di depan teras. Hari 1 pertama pasca gempa, kondisi kota Padang hancur, Hotel Ambacang runtuh, Hotel Bumiminang rusak berat, rumah rumah penduduk banyak yang hancur, kantor pemerintahan juga banyak yang mengalami rusak berat. 


          Aspal jalan di tepi Pantai Padang, banyak yang ambles. Evakuasi korban dengan bantuan alat berat yg terjepit reruntuhan gedung, bunyi sirine yang meraung raung, menjadi hal yang biasa di dengar. Tenda tenda darurat dan seadanya dibuat di depan rumah rumah penduduk yang hancur. Antrian mobil dan motor di pom bensin yang mengular, harga bensin di eceran yang mencapai 35 rb/liter. Bahkan untuk membeli nasi gorengpun, saya harus rela antri. Malam Kedua dengan kondisi listrik yang masih belum menyala, saya dan istri mengungsi ke halaman parkir RS Yos Sudarso, untuk memarkirkan mobil menumpang tidur. Hari kedua pasca gempa, bantuan dari pemerintah, dari berbagai instansi, dan berbagai negara mulai masuk ke kota Padang. Pelataran GOR Agus Salim menjadi RS darurat Swiss, Rescuer Amerika membuat RS darurat di lapangan sepakbola PJKA (PT KAI) di Sawahan,  tentara dari Australia mendirikan alat untuk menyuling air laut menjadi air yang bisa diminum, karena saat itu air menjadi barang yang langka.


          Gempa inilah yang sampai sekarang masih menyisakan trauma bagi saya, setiap kali berada di dalam ruangan gedung bertingkat. Dan setiap ada gerakan atau meja yang bergerak, saya secara refleks akan mengambil sikap lari dan jantung berdetak lebih kencang. Tapi bagaimanapun, Padang tetap menjadi kota tercinta yang harus kujaga dan kubela. (Cerita dari : Dwiaa)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar