Sore
itu saya berkemas meninggalkan kantor untuk pulang, setelah siangnya saya ada
janji dengan istri untuk mengajak makan malam diluar. Tiba tiba sekitar pukul
17.17 gedung kantor saya berguncang keras, waktu itu saya berada di lantai 3,
yang merupakan lantai paling atas kantor saya. Kita yang terbiasa dengan
guncangan gempa sebelumnya, menyangka ini akan berlangsung sebentar. Tapi
goncangan gedung semakin kencang, sehingga menimbulkan bunyi yang sangat
mengerikan. Komputer, laptop pada jatuh dari meja. Mesin foto copy yang
berukuran besar tergeser jauh dari tempatnya semula. Sehingga para penghuni
gedung segera berlarian ke luar. Sampai di lantai bawah, guncangan gedung tidak
berhenti, bahkan semakin kencang, beberapa teman ada yang tersungkur di lantai.
Kebetulan saya juga terjatuh dilantai dan kepala saya menghantam besi salah
satu perangkat kantor. Saya baru sadar, darah bercucuran dari kepala saya,
membasahi baju saya yang berwarna putih. Kondisi diluar sudah banyak orang
berteriak histeris, teriakan takbir, dan juga pengendara motor banyak yg
jatuh. Lihat kondisi seperti ini , rasanya seperti akan kiamat.
Saya
langsung teringat istri saya, saya coba hubungi, ternyata istri yang sedang
mengandung 5 bulan, menyelamatkan diri, mengikuti orang orang yang menuju ke
arah jalan by pass lewat Pasar Alai. Dengan kondisi kepala berdarah, saya
mencoba mencari istri. Berhubung saat kejadian, jaringan telepon yang
putus, dan ada satu operator yang masih berfungsi, itupun juga susah. Saya
terus coba menghubungi istri, dan saya tanya posisinya ada dimana. Kebetulan istri tidak paham jalanan di Padang.
3 jam saya baru bisa menemukan istri saya, dalam keadaan lemas.
Saya
sementara waktu mengungi di tanah luas bengkel mobil di sekitar Pasar Alai,
sambil menunggu kondisi aman, karena ada isu yang berkembang akan terjadi
tsunami. Tengah malam saya kembali ke rumah kontrakan saya di GOR Agus Salim.
Kondisi rumah memprihatinkan, tembok samping roboh, sehingga isi rumah keliatan
semua dari luar. Perabotan didalam pada berhamburan kemana mana. Uang didompet
istri saya hilang semua, untung yang diambil cuma uangnya saja. Saya ambil
selimut dan beberapa makanan untuk mengganjal perut. Karena kondisi rumah yang
sudah nggak bisa ditempati lagi, saya dan istri mengungsi kembali ke tanah
lapang sekitar Pasar Alai, yang saya baru sadar paginya, bahwa itu pekarangan
bengkel. Saya berdua di nagari urang, tidak pernah menyangka akan mengalami
gempa sebesar ini, kami tidur didalam mobil. Harapan saya cuma satu, janin dan
istri saya selalau dalam kondisi baik. Kami beristiraht dengan beberapa
pengungsi lainnya. Kondisi kepala saya masih berdarah, karena belum sempat
untuk ke rumah sakit.
Besoknya,
saya ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kepala saya yang berdarah, dan
ternyata harus di jahit 3. Kondisi RS Yos Sudarso sudah sangat memprihatinkan.
Banyak orang tua yang mencari anaknya di ruang UGD, di depan saya, seorang anak
kecil meregang nyawa. Kondisi bangunan yang sudah sebagian hancur. Yang lebih
mengenaskan, gedung perawatan khusus bagian ibu dan anak, bangunan hancur, dan
pasien bayi dan ibu pasca melahirkan yang msh dalam perawatan, diungsikan di
tenda tenda darurat dan sebagian di depan teras. Hari 1 pertama pasca gempa,
kondisi kota Padang hancur, Hotel Ambacang runtuh, Hotel Bumiminang rusak
berat, rumah rumah penduduk banyak yang hancur, kantor pemerintahan juga banyak
yang mengalami rusak berat.
Aspal
jalan di tepi Pantai Padang, banyak yang ambles. Evakuasi korban dengan bantuan
alat berat yg terjepit reruntuhan gedung, bunyi sirine yang meraung raung,
menjadi hal yang biasa di dengar. Tenda tenda darurat dan seadanya dibuat di
depan rumah rumah penduduk yang hancur. Antrian mobil dan motor di pom bensin
yang mengular, harga bensin di eceran yang mencapai 35 rb/liter. Bahkan untuk
membeli nasi gorengpun, saya harus rela antri. Malam Kedua dengan kondisi
listrik yang masih belum menyala, saya dan istri mengungsi ke halaman parkir RS
Yos Sudarso, untuk memarkirkan mobil menumpang tidur. Hari kedua pasca gempa,
bantuan dari pemerintah, dari berbagai instansi, dan berbagai negara mulai
masuk ke kota Padang. Pelataran GOR Agus Salim menjadi RS darurat Swiss, Rescuer
Amerika membuat RS darurat di lapangan sepakbola PJKA (PT KAI) di Sawahan, tentara dari Australia mendirikan alat untuk
menyuling air laut menjadi air yang bisa diminum, karena saat itu air menjadi
barang yang langka.
Gempa
inilah yang sampai sekarang masih menyisakan trauma bagi saya, setiap kali
berada di dalam ruangan gedung bertingkat. Dan setiap ada gerakan atau meja
yang bergerak, saya secara refleks akan mengambil sikap lari dan jantung
berdetak lebih kencang. Tapi bagaimanapun, Padang tetap menjadi kota tercinta
yang harus kujaga dan kubela. (Cerita dari : Dwiaa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar