Rabu, 14 Agustus 2013

Kota Tua di Jakarta

          Mengingat sejarah dan perilaku kompeni yang telah menjajah negeri ini, kekejaman yang dibuat di pertambangan batubara Ombilin Sumatera Barat, kerja paksa pembuatan jalan dari Anyer ke Panarukan, adu domba rakyat dan Pamong Praja disemua daerah, ah banyak lagi yang bikin aku jadi begitu sentimental. Duduk dan merenung didepan Museum Fatahilah, di Kota Tua Jakarta rasanya seperti masuk dalam  mesin waktu menuju ke tahun 1600. Saat Hindia Belanda mendirikan VOC di pelabuhan Sunda Kelapa dengan jembatan Kota Inten-nya.


          Berjejer bangunan kuno peninggalan hindia Belanda masih utuh, meski beberapa telah diselip bangunan modern milik swasta dan juga dicoret sana sini oleh kaum vandalis. Karena banyak sekali tulisan yang menyebutkan nama sekolah dan nama ”geng”.  Kalau di Singapura perbuatan vandalism semacam ini, tak diberi ampun dan bila tertangkap aparat dah pasti kena hukum cambuk, tapi kalau dinegara kita tak tahulah sebab orang orang yang telah terbukti berbuat jahatpun masih dapat bebas dari jerat hukum.


          Dari berbagai bangunan tua yang ada, sudah nampak beberapa yang direnovasi dijadikan museum serta beberapa lagi dijadikan bangunan pemerintah. Walau begitu nuansa Sunda Kelapa tempo Jan Pieterszoon Coen masih sangat kental. Menurut riwayat, Konon kota tua Jakarta dibangun di lahan seluas 15 hektar. Tepatnya di lahan bekas Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1527. Kota ini diperluas oleh Fatahillah dan diberi nama Jayakarta. Jan Pieterszoon Coen merebut Jakarta ketika itu masih bernama Jayakarta dari Portugis lalu menghancurkan bangunannya. Kemudian membangun kembali Jayakarta dan mengganti namanya jadi Batavia. Tempatnya agak bergeser dari lokasi semula disekitar Pasar Ikan menjadi sebelah timur sungai Ciliwung atau sekitar Jalan Kalibesar sekarang. Pusat kotanya yang terkenal dengan nama Staadhuisplein terletak di sekitar Taman Fatahillah sekarang.


          Bila ingin menangkap nuansa kental tempo doeloenya, Kota Tua sebaiknya didatangi pukul 01.00-04.00 WIB dinihari, saat yang ada tinggal bangunan yang sepi dan diri kita sendiri. Tengah malam seperti itu, nyaris kita tidak bisa melihat perbedaan bangunan itu masih ada Belandanya atau Belanda sudah pergi. Hingga hadir begitu saja dalam benak kita seolah-olah pribumi pada zaman itu dan sedang berdiri ditengah kungkungan penjajahan Belanda. Disana kita bisa merasakan suasana yang tenang dan angkuh layaknya berada ditempat shooting film Jack The Ripper. Semakin larut malam menjelang pagi semakin kena nilai klasik kuno yang dicari para fotografer, yang tak pernah henti menggeksplore angle kota tua, atau para seniman yang mencari-nilai-nilai diri dengan menepis harga duniawi.


          Banyak pemulung dan pengemis ketika aku menyusuri jalan jalan kota tua yang sebagian sudah diganti dari aspal menjadi conblock, lalu melihat meriam-meriam serta butir-butir peluru yang masih ada disekitar Museum, Rasanya aku ingin menjadi pejuang, masuk kejaman penjajahan, menjadi orang yang naik ke gedung Staadhuis, Balai Kota Belanda saat itu, kemudian merobek warna biru bendera belanda, lalu menengok dari puncak Staadhuis sambil berteriak ”merdeka, merdeka”. Tapi aku baru tersadar kalau disana tidak lagi berkibar bendera merah putih biru, dan aku baru sadar kalau negara kita sudah merdeka sejak tahun 1945. Staadhuis sekarang namanya Museum Fatahilah, dulunya selain sebagai Balai Kota juga penjara. Bahkan Cut Nya Dien dan Pangeran Diponegoro pernah dipenjara didalamnya.


          Kota tua tidak sekedar mengawetkan bangunan masa silam tapi juga mengabadikan sepenggal kesehariannya. Yaitu terlihat dengan adanya sewa pakaian mandoor jaman belanda, atau pakian noni dengan topi bunga tulipnya. Ada juga ojek sepeda, penjaja makanan khas betawi seperti selendang mayang, kerak telor, kue rangi, lontong sayur.  Mereka merupakan secarik peri kehidupan Jakarta tempo doeloe.


          Melihat Jakarta dari Kota Tua, Jakarta seperti tua renta. Kota yang lelah, seperti tuna wisma yang mengisi kamar-kamar kosong nan gelap di gubuk gubuk kardus bekas, atau pemulung yang terseok-seok disela-sela gedung mati, yang tidur disisi meriam-meriam tua. Jika dibandingkan melihat Jakarta dari Plaza Senayan, Central Park atau Hotel Kempinski, Jakarta amat menyilaukan. Kehidupan berjalan dalam kecepatan yang tinggi, glamour, menerbitkan air liur. Jakarta seolah gadis puber yang baru pertama kali haid, ranum menggoda.  Disinilah, kontradiksi Jakarta menganga, seperti menganganya waktu antara 1527 dan 2013. Sebagaimana kota tua dibiarkan tak terawat, seolah olah ia disisihkan dari Jakarta.


          Kawasan Kota Tua telah menjadi bagian yang terlupakan dalam maintenance Jakarta. Revitalisasi dan pemeliharaan kembali kawasan itu telah dicanangkan, namun hasil nya belum maksimal. Seharusnya penataan kembali kawasan Kota Tua menjadi prioritas karena tempat ini dapat menjadi sumber ilmu dan bukti heroisme bagi kaum muda dan generasi mendatang. Meski VOC nya telah lama bangkut dan Belanda terusir dari Indonesia, peninggalannya harus dijadikan nilai tambah atau sumber PAD sebagai pegganti kekayaan alam negara ini yang dulu dibawa penjajah kenegaranya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar