Senin, 19 Agustus 2013

Memberi

Mulai dari awal hingga penghujung Ramadhan, kita memang jadi lebih dekat dengan kegiatan memberi. Kegiatan seperti pembagian zakat, hanyalah sebagian kecil dari kegiatan memberi yang bisa kita simak. Banyak orang yang memang menggunakan Ramadhan sebagai momentum untuk berbagi. Lihatlah bagaimana orang-orang berburu uang  pecahan, mencari posisi strategis untuk membagikan zakat, sehingga dalam masa ini tiba-tiba orang miskin menjadi titik perhatian. Bahkan orang yang tidak terlalu miskin pun, rela-relanya menggunakan seragam tukang sapu jalanan sekedar untuk mendapatkan pembagian. 

Pernah pada suatu hari aku menasihati putra-putriku untuk tak lupa memberi pada saudaranya yang kesusahan, bila kelak mereka sudah berdiri sendiri. Namun salah satu di antara mereka bertanya: ”Kalau yang diberi, malah nggak mau usaha lagi dan keenakan minta-minta terus gimana?”. Ini memang pertanyaan yang sulit dijawab. Terkadang niat baik untuk memberi memang perlu juga dibarengi strategi agar pemberian kita bisa berdampak lebih panjang daripada sesaat saja. Mungkin, ini juga sebabnya banyak orang tak setuju untuk memberi sekedar uang penyambung hidup. Ada yang berkata: “lebih baik memberi pancingnya daripada ikannya”. Meskipun kelihatannya simpel, mudah dan dilakukan secara tulus ikhlas, memberi bisa memiliki berbagai dimensi kemanusiaaan yang perlu kita pikirkan dalam dalam.


          Berkali-kali kita saksikan banyak orang memberi karena ingin menghitung  “return”-nya, apakah berbentuk pahala, potongan pajak,  harga diri, reputasi, nama baik, sehingga memberi sedekah perlu diabadikan, didokumentasikan bahkan dipasarkan. Padahal, jelas-jelas hadist Nabi mengingatkan: “Berinfaklah atau memberilah dan janganlah kamu menghitung-hitung, karena Allah SWT akan memperhitungkan untukmu.”

Kita lihat dalam memberi, ketulusan dan kerelaan saja nggak cukup, melainkan kita pun benar-benar perlu menyiapkan mental untuk melepaskan property dan diri kita dengan memikirkan kepentingan orang lain secara utuh. Temanku yang sering memberi pamannya  segepok uang tanpa pikir panjang  pernah kutanyai, mengapa ia memberi pamannya  uang sebanyak itu. Temanku menjawab santai: ”Selain dia memang sangat memerlukannya, gue selalu ingat, waktu gue kecil, ia pun melakukan hal yang sama. Tanpa kebaikannya dulu, mungkin gue nggak pernah akan membeli mainan….” Kerelaan pemberi memang akan terlihat  dari bagaimana ia menganalisa penerima dan melepaskan dari egois pribadinya.

Setiap individu, pada suatu hari yang baik, pastinya pernah bertanya pada diri sendiri: ”Apa yang sudah saya beri untuk orang lain dan negara, serta apa niat dari pemberian kita?” Pada saat-saat itulah kita bercermin dan melakukan audit etikal tentang dosa dan kebaikan, kecurangan dan kemenangan, serta hal-hal yang fair dan tak fair  yang pernah kita lakukan. Di situ juga kita bisa mengevaluasi, apakah pemberian kita itu demi diri pribadi, demi menyenangkan orang lain, demi menyambung hidup orang lain?. Syukur-syukur bila kita mendapatkan nilai plus sehingga kita bisa menakar kontribusi yang sudah kita berikan pada keluarga, perusahaan, kompleks perumahan kita, bahkan Negara. Satu hal yang jelas, kita pastinya akan merasa jauh lebih “happy”  dan bermakna bila kita bisa melihat apa yang sudah kita kontribusikan ke kehidupan orang lain, tempat kita hidup, dan nggak menyibukkan diri pada harta, reputasi, nama baik dan keberadaan diri sendiri saja.

          Banyak sekali orang mengkonotasikan pemberian secara material, padahal  dengan niat yang tulus dan demi nilai-nilai yang luhur, pemberian dapat kita lakukan dalam bentuk-bentuk lain seperti enerji, waktu bahkan pengetahuan. Untuk orang-orang biasa seperti kita-kita yang tak punya uang atau harta lebih untuk dikontribusikan, kita memang perlu bertindak sekaligus berpikir untuk menghasilkan kontribusi yang berdampak dan berarti, serta memiliki manfaat jangka panjang bagi orang lain. Jadi banyak hal yang bisa kita lakukan dalam memberi, tanpa terlalu perlu mengganggu ekuilibirum material atau kocek pribadi, tetapi membawa manfaat besar bagi orang lain. Memberi tanpa pertimbangan bagai menyingkirkan batu penghambat arus sungai. Arus sungai adalah rasa kasih dari dalam diri. Sedangkan batu adalah kepentingan yang berpusat pada diri sendiri. Nah, sudahkah kita menjadi seorang pemberi sejati  hari  ini?(Eileen Rachman & Sylvina Safitri).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar