Senin, 19 Agustus 2013

Monyet Menghidupi Manusia

Sabtu pagi itu aku ke pasar “Kopro” di Tanjung Duren, didepan pasar penuh sesak dengan berbagai pedagang kakilima dengan segala macam jualannya. Salah satu dari mereka, bukan berdagang tapi memberi pertunjukan ke Pengunjung pasar berupa kesenian “Topeng  Monyet”. Aku melihatnya sekilas dan terus berpikir, mengapa seorang pemuda yang gagah sehat pada usia yang produktif, harus di carikan makan oleh sang monyet? Apakah nggak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan, tanpa memberi beban kepada sang monyet untuk melucu. Miris melihat generasi bangsa besar, yang katanya kaya raya. harus bertahan hidup dengan bantuan kerja keras seekor monyet dijalanan.


Apakah monyet habitatnya di pasar atau jalanan tengah kota? Monyet tak bisa berontak, rantai kuat melingkar di lehernya, tak bisa marah "aku juga ingin hidup di hutan, menikmati kehidupanku sebenarnya" jerit sang monyet. Tak ada yang pernah mengerti, apa yang di rasakan sang monyet, mencoba melucu dijalanan, tak jarang pukulan mendarat dipantatnya. Sang Tuan memaksanya harus melucu, dengan irama tak beraturan, mengharap recehan terlembar dari sang kikir, monyet pasrah tak kuat melawan.


Dimanakah kau sang tuan, ketika teman-temanmu di masa lampau bersemangat belajar, menggapai cita2nya dengan bekerja keras?. Pasti lain cerita kehidupan sang monyet, bila tuannya mau bekerja keras, belajar menempuh pendidikan dimasa yang lampau. Tak ada yang salah dengan mencari rezeki yang halal, tapi masih pantaskah mengharapkan recehan dari tarian monyet dengan topengnya? Bukankah sang Tuan masih bisa bekerja di tempat yang lain? masih 1000 pekerjaan tersedia di Jakarta, tanpa harus memanfaatkan binatang. Malu rasanya, hidup dari hasil keringat seekor monyet, masihkah ada sisi kemanusiaan? Malu rasanya, ketika pejabat ramai-ramai berjibaku triliunan rupiah dengan KPK, rakyatnya harus hidup dengan bantuan seekor monyet dijalanan.(Gita.R.P)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar