Rabu, 14 Agustus 2013

Sesama Awak

        Kalau bertransaksi dengan pedagang urang awak (sebutan buat suku Minang di rantau), aku lebih suka pakai Bahasa Indonesia aja. Aku kapok kalau pakai bahasa minang, aku bisa bahasa minang karena 8 tahuh tugas di Sumbar. Ini berdasarkan pengalamanku berbelanja ke Tanah Abang, yang notabene pedagangnya kebanyakan urang awak. Waktu itu Aku mengantar teman yang datang dari Padang hendak berbelanja. Ketika tahu pegawai toko itu urang awak, temenku lalu menawar pakai bahasa Minang. Apa yang terjadi? Pegawai toko itu tetap berbicara dalam bahasa indonesia, bahasa indonesia logat Minang yang khas, gitu. Aku sudah katakan, pakai bahaso awak se lah da, tetapi dia tetap bergeming, tetap keukeuh pakai bahasa Indonesia.
          Nggak sekali dua kali pengalamanku bertemu dengan pedagang urang awak yang perilakunya seperti itu. Maksud hati pakai bahasa Minang supaya lebih akrab, eh malah pedagangnya terlihat kurang senang. Kalaupun dia membalas pakai bahasa Minang terkesan agak terpaksa dan agak kurang ramah melayani. Lamaku berpikir kenapa begitu, akhirnya ketemu jawabannya dari teman. Ternyata pedagang urang awak itu enggan memakai bahasa Minang karena khawatir pembelinya yang sesama urang awak itu minta harga lebih murah. Ya ampuuunnn…., kok begitu sih, padahal niat berbicara dengan bahasa Minang ya itu tadi, supaya terkesan akrab saja karena sama-sama sakampuang, tetapi keakraban itu disalahartikan oleh pedagang karena ingin minta murah. Barangkali para pedagang itu pernah punya pengalaman dimana pembeli yang kebetulan urang awak merayu-rayu minta harga lebih murah dengan alasan samo-samo sakampuang, masak samo-samo urang awak harga dimahalkan. Gitu kali….
          Di jakarta ada jutaan perantau Minang beserta keturunannya. Cukup banyak juga jumlah itu, maklum Jakarta menjadi tujuan utama para perantau. Sebagian besar mereka berprofesi sebagai pedagang, mulai dari pedagang kaki lima hingga yang mempunyai toko permanen seperti di Cipulir, ITC Mangga Dua, Pasar Manggarai, dan masih banyak lagi. Kalau nggak jadi pedagang ya jadi pengusaha rumah makan padang, mulai dari rumah makan kaki lima hingga restoran besar yang sudah punya nama. Tiap satu kilometer pasti ada saja rumah makan padang. Nggak susah bagi urang awak yang selera fanatiknya tidak bisa makan dengan masakan lain mencari makan di jakarta. Oh iya, selain pedagang dan usaha rumah makan, ada lagi profesi yang lain, yaitu membuka usaha photo copy. Bisnis photo copy di jakarta berkembang pesat karena Jakarta adalah kota kampus, banyak perguruan tinggi terdapat di sini.
          Oke, I know that, paham sekarang. Aku memakai bahasa Minang lihat-lihat situasi. Kalau makan di rumah makan padang, yang melayaniku belum tentu urang awak. Bisa jadi pemilik rumah makan padang itu memang urang awak, tetapi para pegawainya belum tentu urang awak. Aku pakai bahasa Indonesia aja, pasti pegawainya tidak akan mengerti kalau aku bertanya ini dan itu dalam bahasa Minang. Nanti waktu membayar kita dilayani oleh pemiliknya yang urang awak itu, barulah kadang-kadang aku pakai bahasa Minang, tetapi lebih banyak pakai Bahasa Indonesia aja. Jika bertransaksi dengan pedagang kaki lima atau pedagang di Pasar, aku lebih suka pakai Bahasa Indonesia aja. Ogah dikira minta harga lebih murah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar